KBS begitu cepat berlalu, seperti mimpi saja. Baru kemarin rasanya aku menghirup udara pegunungan dan sekarang aku dipaksa menghirup asap kendaraan yang padat dan sesak. Pintu kamarku diketuk pelan.
"Masuk," kataku setengah berteriak. Boy masuk dengan wajah sumringah.
"Welcome home, Bro."
"Kau, Boy." Dengan santai Boy menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, sementara aku sendiri sedang berusaha merapikan lemari pakaianku yang tampaknya tak pernah rapi.
"Ke pantai yok, pengen minum kelapa muda," ajaknya.
"He? Ngidam, ya?."
"Sial, mau nggak?"
"Boleh, belum ada plan juga."
Aku pun bergegas berkemas, mengingat waktu sudah pukul empat sore. Penghuni kos yang berstatus single dengan senang hati mengikuti jejak kami. Sementara yang berstatus double tampaknya selalu punya acara yang lebih menarik.
Lokasi pantai tak begitu jauh dari kawasan kampus sekitar lima belas menit, selalu ramai pengunjung, view yang indah dan tempatnya di setting untuk membuat orang betah berlama-lama.
Kami segera duduk di gazebo yang terbuat dari bambu sambil memesan 5 es kelapa muda dan beberapa porsi pisang bakar keju. Tak jauh dari tempat kami duduk, dihuni oleh 3 orang wanita, mungkin seumuran. Mereka terlihat menatap kami sesekali, berbisik-bisik kemudian tertawa.
"Yeh cewek, suka bener sih bisik-bisik," keluh Eric mengomentari aksi cewek-cewek itu.
"Sabar ya, Ric, paling mereka lagi gosipin si Fauzy," kata Boy.
Eh aku kaget.
"Maksudnya?" Aku bertanya keheranan.
"Ia, lagi bareng sama Fauzy cewek-cewek nggak mungkin melirik kita, kebanting bolak-balik," lanjut Boy. Aku tertawa kencang, 100 % meragukan ucapan mereka.
"Betul tuh, Boy, hidup kadang suka nggak adil," lanjut Eric.
"Kalian berlebihan, sangat." Kataku, sejujurnya aku nggak pernah mendengar kata-kata seperti ini sebelumnya. Dulu, aku nyaris tidak punya teman apalagi sahabat. Nongkrong-nongkrong menghabiskan waktu dengan percuma. Aku lalu tersadar kalau hidupku dulu hanya untuk pemuasan diri, tapi yang sekarang untuk kenikmatan. Bagai memasuki dunia yang sama sekali lain. Banyak hal-hal baru yang berubah, bahkan perasaan terhadap seorang gadis, yang dulu sama sekali tak sempat aku rasakan.
Aku jadi membayangkan bagaimana jika Vio berkumpul bersama teman-temannya. Apakah dia juga akan membicarakan para pria yang sedang nongkrong di sebelah mereka? Perasaan aneh merasuki aku, aku tak ingin dia membicarakan pria lain, membayangkan pria lain. Wah ... aku mulai takut kekagumanku bertransformasi ke bentuk lain. Aku mencoba kembali fokus pada pembicaraan.
Aku menghabiskan es kelapaku dengan cepat, menyenangkan rasanya jauh dari rumah. Menjauhi masa-masa kekalahan dan juga kelelahan. Seharusnya dari dulu seperti ini.
Kami menyaksikan sunset, cantik, tapi sungguh tak bisa bersaing dengan bintang. Aku tenggelam dalam keparahan. Payah sekali memikirkan dia yang belum tentu, bahkan tidak mungkin memikirkan aku.
Suasana mulai gelap, Boy berinisiatif mengajak kami pulang, dia mengajak kami makan di tempat sate favoritnya.
🌠🌠🌠
Pukul 08.00 Pagi. Kampus.
Pagi yang lumayan cerah. Aku menuju gedung perkuliahan. Ramai sekali, tampaknya tak ada yang memperdulikan orang lain. Dosenku sudah datang, aku bergegas mengambil kursi ditengah. Topik hari ini harusnya menyenangkan kalau saja dosennya becus menguliahi.
Aku mulai bosan, berfikir cepat untuk segera menghabiskan jam kuliah. Berharap dalam hati agar bertemu Vio dan sedikit memberanikan diri untuk mengajaknya makan siang. Usai kuliah jam pertama, aku bergabung dengan kawan seangkatan yang nongkrong di depan ruang kuliah tadi. Aku membeli buletin fakultas bergegas membuka halaman kedua, lagi-lagi opini dari Vio. Kalau memang dia bercita-cita jadi penulis, kenapa dia memilih Ilmu Politik? Harusnya Jurnalistik seperti aku dong, aku kan jadi punya lebih banyak kesempatan.
Aku bertanya pada penjual buletin kapan akan melakukan perekrutan, dia pun menjawab bahwa mereka telah mulai melakukan seleksi dari minggu lalu. Kemudian dia dengan antusias menawariku bergabung dalam tim. Aku harus bertemu Vio hari ini, akupun memberanikan diri melintasi ruang perkuliahan anak politik. Tak sulit menemukannya, Vio mengenakan kemeja putih dan jeans, tampilannya selalu casual, menarik.
"Hi," seruku. Vio menoleh, dia tersenyum.
"Loh tumben ke sini, ada apa?" tanyanya.
"Udah makan? Bareng, yuk?" Ajakanku itu membuat Vio sedikit terkejut.
"Boleh," Vio merapikan bukunya dan beranjak ke sisiku.
"Mau makan di mana?"
"Di Teras Cafe aja, gimana?" Vio mengangguk. Dalam waktu lima menit kami telah sampai ke Teras Cafe, jaraknya memang tidak terlalu jauh dari kampus.
Aku menanyakan di mana dia ingin duduk dan dia menunjuk meja di sudut. Seorang pelayan datang menghampiri meja kami dan menyodorkan menu. Aku memberi isyarat pada Vio untuk memilih menu. Aku sendiri memesan menu standar ayam penyet dan air putih, sedang Vio memesan jus alpukat dan mie goreng.
"Oh, nggak takut gendut?" Godaku.
"Siapa bilang alpukat bikin gendut, alpukat mengandung lemak baik loh."
"Kalau penjahat, konsumsinya lemak jahat dong." celetukku sambil dibalas oleh senyuman Vio.
"Oya, mau bergabung di blletin kampus, ya?" tanyaku.
"Ya, Zi, aku suka nulis. Bukannya Fauzy juga gitu?"
"Aku suka banyak hal, dan kadang-kadang sulit untuk memilih mana yang lebih disukai."
"Aku bukan penulis yang pandai tapi kurasa kamu sangat kompeten di bidang itu."
"Kamu berlebihan, memangnya sering membaca tulisanku?"
"Ya, orang tuaku berlangganan Harian Nasional sejak aku SMA dan kamu mulai aktif menulis ketika aku kelas dua. Ada suatu hal yang mungkin sulit dipahami, tapi saat membaca tulisan, orang bisa menilai penulisnya."
"Gitu, ya? Aku juga seperti itu. Opini di buletin yang terbit bulan ini, aku sudah baca, tampaknya aku bisa menilai penulisnya, deh."
Vio tersipu dan berkata, "Lalu, menurutmu bagaimana dia?"
"Menarik dan smart."
"Aku jadi nggak percaya diri kalau tulisanku dibaca. Zi, kamu beneran nggak mau masuk ke salah satu organisasi kampus ini? Kalau aku juga berpikir karena keluargaku jauh, mungkin nggak ada salahnya mencari habitat baru sebagai ganti dari perlindungan keluarga kita," katanya. Aku terdiam cukup lama.
"Vio, aku sejak dulu terbiasa melindungi diri sendiri," jawabku.
"Huh.! Kalian para lelaki sering seperti itu, sok kuat."
"Lagipula, aku nggak terlalu suka terikat," lanjutku.
"Oh, aku bosan mendengar kata-kata itu," sahut Vio lirih.
Aku jadi berpikir, wajar kalau ada yang mengatakan bosan dengan kata-kata itu. Ada yang mengerti dan ada yang tidak. Aku awalnya tak ingin terikat pada apapun lagipula siapa sih yang mau terikat dalam artian sebenarnya, tapi kenyataannya, aku pernah terikat pada sesuatu hal yang sangat tidak kuinginkan. Kujalani ikatan itu sampai hampir mati, semuanya bukan tidak bodoh. Sekarang, aku memang pergi menjauh, tapi aku tetap tak bisa melarikan diri.
🌠🌠🌠
KAMU SEDANG MEMBACA
Arah (END)
RomanceFauzy Adam ingin melarikan diri dari kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan normal. Meninggalkan kebencian yang mendalam pada sosok yang tiba-tiba merubah dirinya. Dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang dulu hanya hidup untuk mencari membuktia...