Sebuah nampan berisikan sepotong daging serta segelas air putih masuk lewat sebuah lubang kecil di bawah pintu semen. Arcylic segera bangkit dari jongkoknya setelah makanan itu berada di sebalik pintu.
Hening.
Tak ada bunyi yang terdengar selain dengungan mesin yang entah berasal dari mana. "...John?" panggil Arcylic memecah kesunyian, senter yang ia bawa menjadi satu-satunya sumber penerangan di bawah sana.
"Hm?" respon John singkat.
"Apa yang Oris sampaikan padamu tadi siang?" Arcylic kembali membuka mulut, John tak menjawab, meski pertanyaan itu ia dengar dengan jelas. Beberapa menit Arcylic habiskan untuk menunggu jawaban atas pertanyaannya, namun sama sekali tak ada tanda kalau John tertarik untuk menjawab. Hal itu membuat Arcylic menghela nafas pelan, "tadi, aku melihat Oris naik dengan keadaan marah, dan kau tahu... Oris tidak akan marah hanya karena hal kecil, katakan, apa yang kalian berdua sembunyikan dariku?"
Terdengar tawa berat dari dalam ruangan John, di akhiri dengan helaan nafas yang panjang. "Tidak ada hal yang penting... dia hanya kesal karena aku tidak mau memeluknya, itu saja." Jawab John sembarang.
Arcylic terdiam untuk beberapa saat, John juga mengakhiri tawanya. Membuat suasana menjadi senyap, "...aku tidak tahu apa yang saat ini kau fikirkan John, tapi kalau boleh... aku minta jangan kecewakan dia, dia sudah melangkah sangat jauh hanya karena permintaan konyolmu selama ini, kau sudah mengubah Oris sepenuhnya... jadi aku mohon, jangan biarkan dia kehilangan kepercayaan terhadapmu."
Tawa John kembali menggema, "perkataanmu terdengar seperti menyalahkanku atas ketidaktahuanmu terhadap adikmu sendiri, Arcylic." John berucap dengan nada setengah mengejek, membuat Arcylic membungkam mulutnya.
"...aku hanya mengingatkan." Ucap Arcylic kemudian, John tak lagi merespon, hal itu membuat Arcylic membawa langkahnya menjauh tanpa kata pamit. Ia menaiki tangga, lalu masuk ke dalam sebuah ruangan.
ISTD
Tungku perapian sudah tak mengeluarkan api sejak satu jam yang lalu. Oris duduk di sebuah kursi single sambil terus menatap keluar jendela, menantikan bergantinya subuh dengan pagi hari. Wajah pria itu datar, ia tak memasang ekspresi apapun meski jelas matanya tengah bimbang, di tangannya yang terjuntai bebas terdapat selembar foto usang dengan warna hitam putih.
Cukup lama ia terdiam di sana sampai akhirnya ia memilih melangkahkan kakinya keluar ruangan, berjalan dengan senyap menelusuri koridor, Oris memijak dengan pelan, ia memutar knop dengan sangat hati-hati setelah membuka kunci pintu itu beberapa detik yang lalu.
"Oris ...."
Oris terdiam saat melihat Jasmine menyambut dirinya. Mata cokelat terang yang memerah itu membuat Oris yakin kalau semalaman Jasmine menahan kantuknya.
"Selamat pagi..." Jasmine tersenyum dengan sorot mata yang was-was. Oris tak merespon, ia membawa pandangannya ke bawah, menatap makanan yang tampaknya tak Jasmine sentuh sama sekali. "Kenapa tidak di makan?" tanya Oris kemudian, ia kembali menatap wajah Jasmine.
Kini ganti Jasmine yang tidak menjawab, gadis itu hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Oris padanya. "Kau tidak suka makanannya?" nada datar itu kembali menggema di telinga Jasmine,
"Tidak... bukan seperti itu." Jawab Jasmine masih tersenyum dengan sorot mata yang sendu,
"Lalu?" tanya Oris,
"Aku menunggumu..." jawab Jasmine langsung, Oris tak menjawab, ia hanya terus menatap Jasmine dengan tatapan yang sama sekali tak bisa gadis itu artikan. "Kau," Jasmine membasahi bibirnya sejenak, "kau pernah berkata padaku bukan... kalau aku memakan daging mentah yang kau berikan waktu itu, kau akan bersedia makan nasi untuk yang pertama kalinya...?"
Orit tak langsung menjawab, ia terus menatap Jasmine dengan lekat. Berlalu beberapa saat, Oris tersenyum miring, "kau bodoh karena telah mempercayaiku, Jasmine. Aku tidak akan melakukan hal itu."
"Tapi kau sudah berj---"
"Aku tidak akan menepatinya!" potong Oris cepat, ia menatap mata Jasmine dengan tajam. "Kalau begitu... aku tidak akan mau makan lagi!"
"Silahkan..." jawab Oris, "akan lebih baik jika kau mati kelaparan." Oris membalik tubuh, mengabaikan pandangan Jasmine yang menatapnya dengan tatapan tak percaya, pria itu berjalan menjauh dengan angkuh.
"Oris!" panggil Jasmine, ia membawa kaki kecilnya berlari menyusul sosok Oris. "Apa kau ada masalah, hm?" suara Jasmine terdengar serak dan bergetar, nada bicaranya lekas memberitahu Oris kalau gadis itu tengah menahan tangis. "Apa kau marah padaku?" tanya Jasmine lagi,
"Katakan Oris... apa salahku? Kenapa kau jadi dingin seperti ini?" Jasmine kembali mengajukan pertanyaan, namun Oris tetap tak merespon. Ia masih memacu langkahnya yang semakin besar, "Oris...?"
"Oris!" jerit Jasmine sambil menangkap lengan besar pria itu. Tindakannya barusan berhasil membuat Oris menghentikan langkah, dalam diam ia menyorot wajah Jasmine dengan tatapan tajam miliknya, retina hitam mengkilapnya yang tampak kelam menembus mata dengan genangan air di pelupuk mata Jasmine, tak ada dialog diantara mereka berdua, yang bisa Jasmine dengar hanyalah deru nafas Oris yang perlahan memburu.
"...aku mohon, jangan seperti ini ...." Jasmine tak bisa lagi membendung airmatanya, ia membalas tatapan Oris yang kini masih menatapnya.
"Kenapa kau tidak kabur?" gumam Oris.
Pertanyaan Oris barusan membuat Jasmine menggeleng, "tidak... aku tidak akan pergi." Tolaknya. "Kau harus pergi Jasmine... karena kalau tidak aku akan membunuhmu." Ucapan Oris terdengar frustasi, dahinya yang berkerut samar mengabari Jasmine kalau pria itu sedang bimbang saat ini.
"Kenapa... kenapa membunuhku?" Tanya Jasmine tak percaya.
"Aku tidak punya alasan untuk itu ...." jawab Oris kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Jasmine di tengah koridor dengan karpet merah miliknya.
ISTD
Siulan Mortas memenuhi isi ruangan kamar Deron, matanya mengawasi Deron yang sibuk membersihkan sidik jari dari seorang mayat wanita paruh baya yang sudah tak bernyawa dengan kondisi leher yang patah.
"Kakak, ini sudah hampir pagi... cepatlah, antar aku." Ucap Mortas dengan nada malas, Deron tak merespon, ia masih dengan tindakannya. "Pulanglah Mortas! Dante mungkin belum jauh." ucap Deron tanpa menoleh, mendengar usiran halus Deron membuat Mortas berdecih, "aku akan pulang bersama Oris nanti... kau hanya perlu antar aku ke tempat tinggalnya, kak Deron."
"Aku tidak tahu Mortas ...."
Wajah Mortas berubah saat mendengar jawaban Deron, "ku bunuh kau kalau berkata seperti itu lagi, kak!"
I SAW THE DEVIL
To be continue...Hi guys!
Maaf karena lama baru muncul.
Aku lagi sedikit sibuk gays, serius.Aku pengen update, tapi ga sempet. Maafin ya, maafin ya ....
Oh iya, ada kabar baik buat kalian semua... cerita I SAW THE DEVIL di tawarin buat terbit sebagai Audiobook oleh pihak PenyuFM, walau masih di proses sih, hehe.
Jadi, buat kalian yang pengen denger ISTD versi Audiobook bisa langsung instal apk nya di Playstore-PenyuFM, thanks for all yours suport ⚘
Dust till dawn...Oris behind the script.
![](https://img.wattpad.com/cover/203259473-288-k795778.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I SAW THE DEVIL ✔ (END)
Mystery / ThrillerDreame account : AuthorID "Jasmine ... Jangan kabur dariku kalau kau tidak ingin aku bunuh!" Oris Darel Tristan. ISTD, 15/10-19