Pancaran sinar televisi menjadi satu satunya cahaya di sebuah ruangan yang di tempati Oris dan Jasmine malam itu, film hitam putih yang terputar dengan durasi melebihi satu jam itu benar benar berhasil membuat Jasmine kehilangan mood. Tangan kanannya menopang dagu dengan setia, ekspresi cemberut yang di sertai tatapan malas itu mengarah ke depan.
Sunyi, hanya terdengar suara dialog dengan bahasa asing yang sama sekali tidak Jasmine mengerti. "Oris, apa filmnya masih lama?"
Perlahan Oris menatap ke samping, menatap Jasmine yang barusaja mengajukan pertanyaan. "Kenapa? Kau tak suka filmnya?" Oris ikut mengajukan pertanyaan, Jasmine merenggangkan tubuhnya yang sudah duduk di atas sofa hampir setengah jam, ia menghela nafas lalu membawa pandangannya untuk ikut menatap Oris. "Ya... jujur saja, warnanya menganggu mataku dan aku sama sekali tidak mengerti jalan ceritanya. Film itu terlalu tua untuk gadis sepertiku," jawab Jasmine apa adanya. Oris terdiam saat mendengar jawaban Jasmine, ia menjangkau remot lalu mematikan film yang terputar begitu saja.
Gelap.
Jasmine tak bisa melihat apapun sampai Oris menyalakan macis. "Di sini tak ada lampu, jadi kalau kau tak mau menonton televisi, bertemanlah dengan lilin." Oris tersenyum, ia menyalakan lilin merah berukuran besar yang berada di atas meja kecil di depan mereka.
Jasmine ikut tersenyum, "Baiklah..., setidaknya lilin ini lebih baik daripada film hitam putih tadi." Ucapnya, Oris hanya merespon dengan senyuman, senyuman janggal yang menawan. Senyap menengahi mereka, tak ada bunyi apapun yang terdengar di sana, bahkan suara dentingan jam pun tak mampu Jasmine dengar. "Oris..." panggil Jasmine tanpa menoleh ke samping, Oris bergeming, ia tak menjawab panggilan Jasmine.
"Kenapa kau memilih tinggal di sini daripada di kota?"
"Kenapa kau bertanya soal itu?"
Jasmine menoleh Oris, "aku hanya penasaran... tempat ini terlalu jauh dari keramaian, terlalu senyap dan udaranya terasa dingin menusuk, di luar juga menakutkan---"
"Aku suka di sini," potong Oris pada kalimat Jasmine. Ia menatap lurus ke depan, Jasmine menatap Oris lekat, "apa yang membuatmu suka dengan tempat ini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Jasmine, Oris membawa pandangannya ke samping, kedua sudut bibirnya tertarik keatas. Ia tersenyum samar, "karena tempat ini jauh dari keramaian, sangat senyap, udara yang sejuk serta lingkungan yang tidak berisik, aku suka itu semua." Jawab Oris.
Jasmine terdiam, ia mengamati wajah Oris. "Aneh," ucapnya kemudian, ia membawa pandangannya ke depan, menatap api lilin yang kadang bergoyang pelan oleh angin malam. Oris tak menjawab, ia ikut membawa pandangannya ke depan, mereka larut dalam kesunyian malam.
"Jasmine..." setelah lama terdiam, mulut Oris menyerukan nama Jasmine dengan nada yang datar.
"Hm ...." respon Jasmine pelan, Oris menoleh ke samping, menatap Jasmine yang kini tengah menopang pipinya sambil memejamkan mata. "Kau... mau dengar satu cerita?"
"Cerita apa?" respon Jasmine acuh,
"Entahlah... cerita ini tidak punya judul." Jawab Oris, Jasmine hanya tersenyum kecil, matanya masih menutup dan tangannya masih menopang dagu. "Baiklah... ceritakan," lanjutnya.
Hening, Oris tak memulai ceritanya meski Jasmine sudah bersedia untuk mendengarkan. Hal itu membuat Jasmine membuka matanya, ia menatap ke arah tempat Oris duduk, namun sekarang pria itu sudah tidak di sana.
"Oris?" panggil Jasmine, pandangannya menatap sekitar, namun karena terbatasnya cahaya, ia tak mampu menemukan sosok Oris, ingin melangkah mencari namun dirinya terlalu takut untuk berada di dalam gelap, terlebih otaknya yang tiba-tiba saja mengingatkan tentang perkataan Oris tentang hantu di rumah tersebut.
"Oris...?" panggil Jasmine lagi, perlahan tenggorokkannya mulai terasa kering, ujung jari jarinya mendingin dengan cepat, seiring detak jantungnya yang kian berdetak cepat. "Oris... kau di mana?"
"Or---"
"Aku di sini Jasmine," Jasmine menoleh kebelakang saat mendengar suara baritone milik Oris.
"Darimana saja kau Oris?"
Oris berjalan mendekat, "dari membiarkan tempat ini bercerita tentangku padamu..."
Dahi Jasmine berkerut, "apa maksudmu?" tanyanya bingung. Oris terdiam, ia menarik kedua sudut bibirnya untuk menyeringai, ia menatap Jasmine selama beberapa detik sebelum membungkuk untuk menjangkau lilin di atas meja. "Sudah malam, mari ku antar ke kamar tidurmu." Oris mulai melangkahkan kakinya, namun tidak dengan Jasmine.
"Tunggu Oris," langkah Oris terhenti, ia menoleh kebelakang, menatap Jasmine yang berdiri di sinar temaram. "Apa kamar tidur yang barusaja kau katakan punya lampu?"
"Tidak ada." Jawab Oris segera,
"Kalau begitu jangan antar aku ke sana... aku mau tidur bersamamu!"
"Baiklah." Oris kembali menjawab dengan cepat, ia melangkahkan kakinya. Jasmine menyusul langkah pria tersebut dengan sedikit berlari, "Maksudku bukan tidur bersama... tapi---"
"Aku mengerti Jasmine... bukankah sudah pernah ku katakan kalau aku sama sekali tidak tertarik padamu?"
"Ah, ya... kau benar." Ucap Jasmine sambil tersenyum malu karena Oris mengetahui isi pikirannya, ia menyamakan langkahnya dengan Oris.
ISTD
Embun yang memenuhi kaca mobil Oris di sapu oleh sebuah tangan besar, beberapa ketukan menyusul setelahnya. Oris membawa pandangannya ke arah kaca jendela, menatap seorang pria paruh baya yang tengah berdiri di luar kaca jendelanya sambil tersenyum aneh.
Oris membuka kaca jendelanya, membuat muka kasar dari pria paruh baya itu terpapar jelas. "Kau datang seminggu lebih awal Oris..."
Oris mendelik pria di sampingnya, tanpa bicara ia mengajukan sebuah wadah kaca berisikan air keluar jendela, melihat barang yang di ajukan Oris membuat pria itu tersenyum lebar, dengan cepat ia menyambutnya, pria dengan bau menyengat itu mengangkat tinggi wadah yang di berikan Oris padanya.
"Hanya ini?"
"Otaknya remuk, sudah bercampur dengan darah, kau tak akan suka." Jawab Oris, helaan nafas panjang terdengar dari pria tua di luar mobil, "baiklah... untuk bulan depan, jangan sampai hancur lagi. Kau tahu kalau aku sudah rela menunggu sebulan untuk itu,"
Wajah Oris tampak acuh, "Aku pergi," ucapnya. Pria tua itu mengangguk, "ya... sampai jumpa bulan depan."
Kaca jendela Oris perlahan naik, ia hendak meninggalkan halaman berpasir yang ia kunjungi subuh-subuh. "Oris," suara serak dari pria tua itu membuat Oris kembali membawa padangannya ke luar, "Ku dengar, gadis yang hendak di beli Claude kabur dua hari yang lalu, apa itu benar?"
"Ya ...." jawab Oris singkat.
"Sudah kau temukan?" tanyanya lagi,
"Sudah, di hari yang sama saat dia melarikan diri." Jawab Oris segera, pria tua itu tertawa, memamerkan gigi-giginya yang sedikit menghitam karena noda kopi. "Biar ku tebak... sepasang mata yang ada dalam tabung ini, miliknya bukan?"
Untuk sejenak Oris terdiam, perlahan seringai samar terukir di bibirnya, "...kau tak akan pernah merasakan mata dari gadis itu Robert."
I SAW THE DEVIL
To be continue...Kalimat terakhir Oris, punya dua arti.
Pertama : dia ga bakal bunuh Jasmine.
Kedua : dia mau makan daging Jasmine sendirian. _-
KAMU SEDANG MEMBACA
I SAW THE DEVIL ✔ (END)
Mystère / ThrillerDreame account : AuthorID "Jasmine ... Jangan kabur dariku kalau kau tidak ingin aku bunuh!" Oris Darel Tristan. ISTD, 15/10-19