Judul :
Utawi Iki Iku
Inilah fasal yang memaktubkan tentang rumitnya masa lalu
-Milky Way
🍬 Prolog 🍬
Terik mentari terasa semakin menyengat. Panas yang menyelimuti tanah negeri para wali ini seakan membakar kedua telapak kaki seorang gadis yang tengah berlari tanpa beralaskan apa pun. Tanpa tujuan ke mana pun.
Setelah kalimat perpisahan terucap, setelah jarak benar-benar telah dibentangkan, setelah harapan telah hilang, ia tak lagi memiliki tujuan. Seakan-akan dia kehilangan akal. Ia kehilangan kewarasan menyaksikan kepergian sebagian dari jiwanya merayakan kekosongan.
Pada bagian bawah abaya hitam, terlihat kotoran debu yang menempel karena beberapa kali terjatuh, menahan perih telapak kaki. Menahan getirnya hati. Lalu lalang manusia berwajah damai tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing sedang gadis itu masih berlarian dari satu gang ke gang lain. Mencari sebuah tempat pelarian, mencari sebuah tempat yang dapat dengarkan teriakan. Ia berlari hingga kedua netra cokelat tua mendapati sebuah deburan biru yang tampak memahami aroma kesedihan.
Gadis itu memelankan langkah. Memandang luas lautan yang membiru di salah satu sudut Yaman. Tangan kanannya menghapus air mata yang sempat terjatuh. Deburan ombak itu sedikit pun sebenarnya tak bisa menenangkan pikir. Yang dirasakan kini hanya perih, tak ada yang lain.
Gadis itu berteriak di antara desau angin dan peliknya deburan. "Allah ... bukannya Engkau telah bersabda sendiri pada kitab-Mu yang suci. Engkau katakan pada hamba-Mu, fadzkuruuni adzkurkum. Engkau bilang pada kami, wa idza saalaka 'ibadii 'anni fainni qariib ... Engkau hibur kami, Rabbi, dengan sabdamu wa laa tahinu wa laa tahzanu ...." Tiba-tiba air mata terurai deras. Ia tak mampu lagi berkata lebih dalam. Tak lagi mampu mengeluarkan lebih keras suara. Tenggorokannya telah tercekat. Perih itu sungguh telah menghantam ulu hati.
"Lalu ... aku ingin tahu buktinya. Allah bukannya Engkau ada? Maata nasrullah?" Dia terduduk. Jilbabnya terlepas. Perempuan itu menunduk membiarkan dirinya lebur dalam tangisan siang hari ini.
Dia bertanya tentang kehadiran Tuhannya. Dia menagih janji Tuhannya. Dia mengemis meminta belas kasihan, tetapi pada titik akhir kali ini, dia menyerah. Sakit. Perih. Sesak. Semua rasa menyakitkan itu bercampur dalam raga yang telah rapuh, menyelinap pada rongga-rongga jiwa yang telah patah.
"Allah, perpisahan ini terlalu perih."
Di negeri ini, ia rasakan bagaimana gelapnya dari sebuah rasa patah. Di negeri ini ia tahu tentang gelisahnya dari berpisah dan sempitnya harap. Namun di negeri ini pula ia bertanya tentang kemaha luasan Dzat maha cinta. Ia mencari sebuah jawaban. Ia mencari titik terang.
🍁🍁
Halo teman-teman, kembali lagi dengan cerita baru ❤ Insya Allah cerita ini akan diselesaikan.
Di cerita kali ini, insya Allah kita akan berkenalan dengan sufi lain. Ya, bukan Rumi lagi. Namun, Rumi masih akan ada karena aku nggak bisa bikin cerita kalau Rumi nggak dibawa :)
Temanya apa? Tentu agama cinta lagi, perdamaian, kemanusiaan, karena sejatinya kita dilahirkan untuk saling mencintai sesama. Siapa pun. Beda mazhab, beda amaliyah, bahkan beda agama sekalipun. Kalau kata Rumi mah, Dalam hidup yang hanya sepanjang tarikan napas jangan tanam apa-apa kecuali cinta ❤
Sebelum lanjut, perhatikan dulu bahwa akun ini tidak menerima debat. Bila ada yang memulai saya pasti akan menghapusnya. Bila tidak suka, langsung tinggalkan dan cari yang sepaham.
Sebelum lanjut baca, follow dulu dong 😊
Salam | Milky Way
Malang, 30 Januari 20
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...