Dalam doa yang termunajatkan, kamu adalah tujuan yang tak terbantahkan.
Di sebuah ruang berukuran besar dipenuhi deretan rak buku, duduk seorang lelaki berusia sekitar delapan belas tahun tengah membaca buku bersampul kuning yang berjudul Ibrahim bin Adham di salah satu sudut ruang. Sembari mendengar alunan salawat dari earphone yang tersumpal di telinga, dinikmati pula desau angin sore dari jendela yang berada di belakang. Swatamitas mulai mewarnai rona wajah, sesekali sedikit rambut yang tak tertutupi peci hitam itu beterbangan tersapu angin sore.Lelaki bersarung hitam serta berkemeja biru pendek itu tak sedikit pun mata tajamnya beralih dari selain deretan akasara-aksara yang menceritakan tentang sufi kaya itu. Yang ia tahu tentang Ibrahim bin Adham, beliau memiliki tempat kelahiran yang sama dengan Rumi. Yaitu di Balkh. Ditulis pada beberapa kitab yang pernah dikaji, beliau adalah seorang raja Balkh pada tahun 730 Masehi. Namun, ia meninggalkan gelarnya dan memilih hidup zuhud. Baginya Allah sudah cukup.
"Kamu harus pulang, Na!" Seorang wanita paruh baya berbaju hijau muda tampak menarik tangan seorang gadis setinggi 157 sentimeter yang sedang membaca antalogi cerpen berjudul 'Hanya Cinta yang bisa mengatasi segalanya.
"Aku nggak mau, Bu." Gadis itu tampak menahan diri untuk tetap duduk di kursi dan meneruskan kegiatan paling indah di dunia, membaca. Entah sejak kapan sang ibu tahu tempat pelariannya. Dia kira perpustakaan adalah tempat paling nyaman tetapi nyatanya wanita paruh baya itu malah menemukan keberadaannya. Ia kira perpustakaan adalah tempat paling aman, tetapi nyatanya wanita itu kini telah berdiri di dekatnya.
"Kamu kenapa, sih, Na, hobi sekali bikin orang tuamu kecewa," lanjut sang ibu. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Ibu yang nggak pernah paham perasaan Alban." Gadis bernama lengkap Albania Tirana itu lantas bangkit sembari menutup buku bersampul cokelat tersebut. Gadis berkemeja biru kotak-kotak serta bercelana levis hitam itu lantas berdiri di depan sang ibu.
"Alban sudah punya pacar. Kalau ibu mau Alban segera menikah, ya tolong dong nikahin Alban sama pacar Alban jangan sama yang lain. Dikira enak nikah sama orang yang nggak kita suka," cetusnya.
"Siapa pacarmu?"
Gadis itu terdiam. Ia memeluk buku-bukunya semakin erat. Perpustakaan yang biasanya selalu syahdu kali ini berubah ramai karena drama yang sedang dimainkan Ibu Albania. Andai seorang pustakawan tidak sedang pergi ke luar membeli kopi di warung sebelah, mungkin kedua orang itu telah diusir karena telah berhasil menganggu ketentraman surga dunia.
"Siapa, hah?"
Laki-laki itu menghela napas keras saat suara salawatan Habib Syaikh Abdul Qadir As-Segaf dari earphone-nya kalah keras dari suara dua orang di depannya. Bahkan kehidupan Ibrahim Bin Adham belum semua tuntas dibaca. Ditutupnya buku bersampul kuning, lalu bangkit menyeret langkah hendak keluar. Entah berapa jam lagi ia harus menetap di sekitar perpustakaan hingga menunggu jelang maghrib nanti. Pasalnya dia sudah berjanji akan bertemu di sini dengan teman-temannya 'tuk menghadiri shalawat di alun-alun yang tak begitu jauh dari tempatnya sekarang.
"Dia, Bu. Dia pacar Alban. Namanya Muhammad Asy'as Al-Hasan," tukas perempuan itu.
Sang empunya nama menghentikan langkah. Kedua alisnya terpaut tak paham. Ia menoleh dengan memasang wajah cuek seperti biasa. Kedua mata sipitnya seolah menyimpan banyak tanya dari jutaan hal yang tak terkendalikan.
"Al, udah waktunya kita menikah, kan? Bukannya kamu juga udah berjanji mau membuat jadwal pernikahannya bulan-bulan sekarang?" Gadis itu tersenyum.
Asyas terdiam. Kedua alis tebalnya terpaut. Al? Perempuan itu tahu bahwa Asyas lebih akrab disapa Al dari nama marganya. Al-Hasan.
"Kamu siapa?" Dua kata itu meluncur begitu saja dari bibir merahnya yang sedikit tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...