Bab 04 || Serumit I'rab

4.1K 411 44
                                    

Dengan cinta, yang rumit menjadi mudah. Dengan cinta gelap menjadi cahaya. Dengan cinta ujian menjadi jalan keikhlasan.


Ketika Tuhan telah memproklamasikan kemaha bisaannya melalui mentari yang mulai bersinar teduh di pagi hari, semua teman Asyas telah kembali di rumahnya masing-masing menyiapkan diri tuk kembali ke asrama. Sedang laki-laki berkemeja hitam serta bersarung cokelat itu masih duduk di kursi membalas banyak pesan masuk dari teman-teman.

Namun, kali ini perhatiannya sudah buyar ke mana-mana. Pasalnya sejak satu jam yang lalu, nomor baru selalu saja mengganggu indera pengelihatan. Menyapa berkali-kali dan barangkali beberapa menit lagi dia akan mencari opsi blokir berusaha menghentikan aksi memuakkan itu.

+62XXX

Itu alamatku. Kamu cepat ke sini. 06.01

Hai, Asyas! Udah di jalan, kan?
Kapan sampai? 07.00

Asyas plis padahal lagi on tapi gabales. Kamu tau kemarin tetanggaku ada yang meninggal karena nggak bales pesan dari orang penting. 07.03

M. Asyas

Kamu bukan orang penting!


"Al, mau ke pesantren jam berapa? Pukul delapan papa ada jadwal bedah," tanya Ghiffari yang terlihat sudah siap dengan seragam putih khas Dokternya.

Asyas mendongak. "Mungkin sore, Pah."

"Batas waktunya jam empat, bukan?" Ghiffari memastikan. Anaknya itu memang seringkali mengulur waktu keberangkatan.

Asyas mengangguk. "Aku kan ngabdi, Pah. Udah ngajar bukan santri lagi, jadi aku bebas."

"Papa tanya Gus Nabil, mau?"

"Maksudku, aku masih ngaji juga tapi nanti aku izin berangkat sore." Asyas tertawa. Papanya itu memang kerapkali mengambil tindakan tanpa sepertujuannya. Cara mendidik yang lumayan keras membuat Asyas malah keluar dari rel bernama ketertiban. Ghiffari barangkali tak paham kenapa anak sulung itu memiliki tingkah laku yang sangat berbeda dengan adiknya.

Ayah beranak dua itu menggeleng-gelengkan kepala. Mudah ditebak. Asyas memang sering seperti ini. Remaja itu bangkit, menyalami pucuk tangan sang ayah, sebelum akhirnya Ghiffari pergi meninggalkan Asyas di rumah, sendirian.

Langkah Asyas kemudian terseret keluar. Menghirup udara pagi Jakarta yang tak lagi menjadi ibu kota. Namun demikian, Jakarta tetaplah Jakarta yang padat dengan penduduk yang sangat besar jumlahnya.

Asyas berjalan ke arah garasi. Menarik motor sport-nya ke halaman. Setelah terparkir, laki-laki itu merogoh ponsel dari saku kemeja lalu mencari kontak dengan awalan +20—kode negara Mesir.

M. Asyas

Assalamualaikum, Gus Nabil. Sebelumnya maaf bila menganggu, saya Asyas dari komplek Darul Irsyad, meminta izin untuk datang sore.

Asyas menekan tombol kirim. Sebenarnya tanpa dia memberitahu nama pun, Nabil akan tahu. Gus-nya itu sudah menyimpan nomor beberapa santri yang kerapkali bermasalah.

Gus Nabil | Egypt

Waalaikmussalam, kenapa Yas? Ada kendala?

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang