Bab 38 || Menafsirkan Rindu

3K 437 99
                                    

Perlahan mulai paham, bahwa bagian tersulit dari sebuah part kehidupan adalah ketika dipinta melupakan.

Usai ngaji bandongan, Albania langsung kembali ke kamar mengambil berkas-berkas yang diminta kantor untuknya mendaftar di Yaman. Sekarang, tepat pukul 14.30, dia harus cepat-cepat menyerahkan berkas-berkas tersebut dan kemudian kembali ke kamar mempersiapkan ngaji Tafsir usai asar.

Setelah mengambil map kuning dari loker lemari, buru-buru dia keluar kamar dan berjalan cepat menuju kantor asrama depan. Dia tak perlu mengajak siapa pun, karena hanya sedikit saja yang berminat melanjutkan studi di sana. Bahkan yang Albania dengar, dari pesantren Umar Bin Khattab sendiri hanya ada dua perempuan saja yang mendaftar dan Albania tak paham siapa satu orang temannya.

Gadis itu langsung melepas sandal jepit di teras. Dia masuk melalui pintu kantor yang terbuka lantas masuk dan menangkap empat santri putra salah satunya Asyas, yang sedang membuat lingkaran di meja kerja Kang Zaki yang sedang melakukan proses pendaftaran satu per satu dari para santri.

Di ruang kantor asatiz dan ustazah berwarna hijau yang lumayan luas itu cukup sepi selain Kang Zaki dan beberapa asatizah yang sedang haid, melanjutkan tugasnya. Barangkali dari mereka ada yang sedang menilai, menulis ulang absen, membuat soal imtihan atau mengerjakan tugas lain yang tak Albania ketahui.

Gadis itu duduk di sana, menunggu antrian paling akhir untuk mendaftar. Lagian dia tidak salat, jadi tak buru-buru ke masjid bila lima belas menit lagi azan asar berkumandang. Namun, sejujurnya ia harus bertemu Gus Nabil terlebih dahulu untuk mengatakan keputusannya. Kedatangan Albania ke kantor hanya menuruti keinginan yang mendadak.

"Albania, mapnya tinggal saja. Nanti saya yang mendaftarkan." Tiba-tiba Kang Zaki berkata.

"Ah, terima kasih, Kang." Albania langsung berdiri setelah meletakkan map miliknya di sofa. Dia keluar ruangan menatap jalanan luar ma'had yang selalu ramai dari para pekendara. Hendak ke kamar pun di sana sepi karena sedang berjamaah asar. Lebih baik ia duduk di sini sebentar, lalu kembali saat mereka telah melaksanakan jamaah ashar.

Gadis itu duduk di teras, menatap lalu lalang pengendara di luar gerbang ma'had sana. Di sini, keramaian terdengar begitu jelas. Hiruk pikuk Jakarta yang ramai seakan telah menjadi musik favorit yang telah bersahabat dengan telinga para penduduk DKI.

"Siapa yang bilang nggak pedes?" Suara lelaki bertanya, diakhiri tawa setelahnya.

Albania yang tak memakai kacamata menyipitkan mata berusaha melihat lebih jelas laki-laki dan perempuan yang baru saja masuk melalui gerbang. Jelas sebenarnya tak berpengaruh karena buram, namun sedikit terlihat bahwa mereka tampak bergandengan tangan, tetapi minus yang dimiliki Albania tak mampu melihat lebih jelas selain menerka bahwa mereka adalah pasangan muda Umar Bin Khattab punya.

"Gus Nabil yang bilang. Ini bibirku panas banget," Sang perempuan berpura-pura kesal.

"Aku minta maaf, okey? Aku kira kamu nggak mau sambal, kok pas aku nggak lihat langsung dituang ke mangkuk gitu aja. Lagian udah gede nggak suka pedes." Gus Nabil tampak puas memperhatikan wajah istrinya yang berubah menyebalkan.

"Nggak suka. Perihnya nggak ilang-ilang. Lagi sariawan lagi."

"Lihat aku aja. Ntar lama-lama jadi manis."

"Nggak mau. Nggak ada bukti."

"Masa? Kok banyak foto candid-ku di galeri kamu."

"Emang nggak ada fotoku di galeri Gus Nabil?"

"Ya kan dapet nyuri di ponsel kamu."

"Aku cantik, ya? Jadi dijadikan wallpaper juga. Hapus, Gus atau bayar pakai ice cream."

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang