Kelak, kau akan sadar bahwa bagian terberat dari mencintai adalah sabar.
—Cak Nun
Usai menata kasur di dekat dinding, Albania menyapu lantai kamar. Saat nge-pel nanti bagian Nisa. Setelah semua anak Aliyah berangkat sekolah, asrama menjadi sepi hanya tinggal para santri yang mengabdi. Jadwal ngajar mereka tidak setiap hari karena bergantian dengan santri lain. Itu pun hanya ketika pagi dan malam dan tidak semua manut peraturan. Banyak dari mereka yang tetap memilih mengaji daripada terjun untuk mengajari.
Mengabdi di sini barangkali hanya sebuah nama. Selebihnya mereka mengejar makna pada lembaran-lembaran kitab yang masih kosong dari pegon. Meskipun sudah mondok tujuh tahun, tetapi rasanya masih sungkan bila memang harus terjun menjadi guru. Mereka masih merasa kurang dalam ilmu dan sebisa mungkin satu tahun terakhir digunakan untuk mengejar beberapa ketertinggalan.
"Albania, ada Kakek kamu di depan," ucap seorang santri yang baru saja berdiri di ambang pintu.
Albania yang tengah menyapu, mengangkat kepala. "Hah? Bener?" Dia tampak terkejut. Bagaimana mungkin kakeknya itu ke sini.
"Iya, cepet sana!"
Perempuan itu langsung menyabet jilbab biru yang tadi dutaruh di pintu lemari. Dia memakainya lalu segera keluar untuk menemui sang kakek yang telah berada di asrama depan. Entah mengapa tiba-tiba dia ke sini, bukankah Albania berjanji bahwa dia yang akan selalu mengunjungi rumah itu. Bahkan baru tadi malam mereka bertemu.
Gadis itu menyipitkan matanya saat sudah sampai di asrama depan. Kacamatanya tertinggal di kamar dan ia tak bisa menatap dengan jelas orang-orang yang dilihatnya bila benar-benar tak didekati. Semua yang ditatap terlihat blur. Minus 4,3 membuat pandangannya benar-benar terganggu.
Perempuan itu terus berjalan, memperhatikan dengan detail seorang laki-laki bersarung hitam serta berkoko putih tulang yang berdiri di depan poa sembari membawa kresek hitam. Dari rambutny yang terlihat putih sangat mudah dikenali. Ya, dia Rasyid.
"Kakek!" teriak Albania.
Lelaki itu menoleh. "Na, ini nasi goreng buatan ibumu. Di dalamnya ada roti dan susu. Kamu makan, ya," ucap sang Kakek setelah Albania berdiri di depannya.
Albania menarik tangan keriput lelaki itu, lalu membawanya duduk di depan pos tak peduli siapa yang tengah menjaga di dalamnya. Setahu dia bila pagi sampai zuhur nanti adalah jadwalnya santri putri, sedangkan nanti setelahnya digilir santri putra.
"Kakek nggak perlu repot-repot ke sini, biar Alban yang ke sana. Alban mau ketemu mama dan nenek. Kalau kakek ke sini, Alban nggak ada alesan buat manjat dinding asrama," ucapnya.
"Nggak usah kabur-kabur, Na. Tenang di sini. Kakek yang akan sering ke sini jengukin kamu. Belajar yang bener biar kamu bisa kuliah di Yaman atau Mesir. Kamu harus berhasil menjadi manusia." Sang Kakek memberi nasihat. Albania mendengarnya. Selalu ini yang diucapkan berulang-ulang. Kuliah di luar negeri, memperbaiki akhlak, kemudian jadilah manusia.
"Kakek denger selama kamu tinggal dengan ibu Nia, kamu nggak pernah lagi keluar pakai jilbab. Kenapa, Na? Katanya kamu bukan seperti anak pesantren?"
"Ah itu, nggak kok. Alban cuma lagi males aja, Kek. Kan sekarang Alban udah bener lagi." Gadis itu tertawa renyah.
"Ya udah Alban belajar yang bener. Kakek pulang," pamitnya.
"Kek, Alban mau tanya. Apa menurut kakek semua akan baik-baik aja walaupun Alban tak lagi memiliki ayah?"
Wajah tua Rasyid tampak semakin berkerut mendengar pertanyaan cucunya. Barangkali dia pun berpikir, pria bejat mana yang tega meninggalkan anaknya yang baik. Dia pergi tanpa memberi dan mengucapkan apa pun. Dia meninggalkan Albania begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...