Aku memintamu dari sekarang, agar kelak saat di surga tak perlu mencarimu tuk tinggal berdua.
Masih di tempat sama. Albania belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Sesaat, Asyas lewat di sampingnya kembali menuju perpustakaan tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun yang ingin disampaikan pada Albania. Seakan-akan ia telah menyelesaikan tugasnya lalu pergi menjauh adalah pilihan.
"Asyas! Kamu inget tantangan yang diberikan aku ke kamu nggak, sih? Tadi itu berlebihan banget," protes Albania saat memutuskan mengikuti langkah Asyas ke dalam perpus.
"Tantangan lo nanggung, nggak asik," sahutnya setelah kembali duduk di kursi pustakawan.
"Tapi gimana juga sebenarnya aku nyesel. Aku kira kamu nggak akan mau. Sumpah demi apa pun aku sama sekali nggak mikirin Madinah sebelumnya," desis Albania.
"Kenapa nyesel? Dari awal kita ketemu juga itu yang lo mau? Ya udah ayo nikah. Nggak usah pakai truth or dare, gue bakal nikahin lo."
Albania tersentak. Sesungguhnya dia masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan Asyas. Bila dia tengah bercanda maka sungguh candannya sangat cocok didiskualifikasi dan bila dia tengah menyatakan kebenaran, maka meminang dengan cara seperti inikah yang didapat Albania? Bahkan laki-laki itu tak menampilan kesan manisnya sedikit pun.
"Jangan bercanda. Lagian itu udah lalu," sergah Albania.
"Gue nggak bercanda Albania Tirana. Ayo kita menikah setelah gue lulus dari sini," tegas Asyas menekan suaranya ketika menyebut nama lengkap Albania.
Demi apa pun, Albania seolah kehilangan banyak oksigen. Ia membutuhkan ruangan lebih luas untuknya bernapas saat ini. Detak jantung sedari tadi masih berdebar tak karuan, kenapa dia enggan bila diajak kerjasama.
"Pondasi pertama dalam pernikahan itu cinta, Asyas."
"Gue cinta sama lo. Bukannya lo juga?" jawab Asyas cepat.
Seketika Albania tertawa. "Aku suka sama kamu? Halo Asyas, sedikit pun aku belum bisa berbalik arah dari masa lalu dan kamu tahu bahwa sebenarnya aku takut dengan pernikahan. Aku menolak lamaranmu."
"Kenapa?"
"Sejak kepergian ayah, laki-laki pertama yang kata mereka adalah cinta pertama, aku telah kehilangan rasa untuk jatuh cinta. Selain Kafa, aku belum bisa mempercayai laki-laki mana pun. Dalam pikiranku nyaris semua laki-laki itu sama. Dia hanya mengambil keuntungan dalam sebuah pernikahan. Di dunia ini Tuhan tak menciptakan dua orang Kafa, tiga orang Gus Nabil, empat orang Gus Adam dan seterusnya. Betapa aku lihat ada banyak sekali perceraian terjadi dan aku takut bila kelak itu akan menimpaku.
"Dan alasan terbesarnya, aku nggak mau menjadi amil nawasekh yang memutuskan hubungan Mubtada dan khabar. Bukankah setelah ini aku benar-benar akan dilabeli sebagai Amil nawasekh yang menghancurkan hubunganmu dan Madinah?"
"Berarti lo nggak tanggung jawab? Lo udah ngejar-ngejar gue dari awal dan setelah lo berhasil bikin gue masuk ke dalam hidup lo, lo pergi? Lalu apa bedanya lo sama mereka yang ninggalin kekasihnya begitu saja?"
"Ya bedalah, ini belum ada ikatan. Lagian Asyas, aku ngejar-ngejar kamu itu hanya karena aku nggak ada kerjaan. Aku mau ngapain udah lulus sekolah begini? Ya udah akhirnya cari kerjaan baru aja," sahut Albania enteng. Entah perkataannya mengandung dosa atau tidak Albania tak paham. Hanya saja dalam pikirannya saat ini, entah beberapa jam lagi asrama akan digaduhkan dengan berita mereka berdua. Betapa sesungguhnya Albania tahu bahwa dinding pesantren dapat berbicara.
"Terserah lo tapi gue jamin setelah gue lulus, lo bakalan mau nikah sama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...