Jika kamu khabar muqaddam, biarlah aku menjadi mubtada muakhar.
Di dalam ruang berukuran sekitar 8X9, Albania berada di sana. Gadis bermata almond itu memasukkan beberapa setel pakaian ke totebag dan menaruh alat mandi, bedak, dan minyak wangi ke dalam wadah yang berbeda."Mukamu loh ragu banget mau berangkat," komentar Nisa.
"Banget sih. Lagian dar'ul mafasid muqaddam 'alal jalbil masalih, kan?" Albania mengangkat sebelah alis sembari terus memikirkan beberapa barang yang harus dibawa.
"Kalau gitu mending nggak perlu. Mencegah juga, Na," usulnya.
Seharusnya dia mengamini usulan Nisa. Bukannya memang Kaidah Fiqh pun telah menetapkan syariatnya. Mencegah keburukan lebih diutamakan daripada tercapainya kebaikan, maka seharusnya ia lebih baik tak pernah pergi. Mencegah mafsadah, mencegah pertemuan, mencegah jumpa yang sebenarnya ingin dipertemukan semesta.
Di Nadwatul Ummah, layaknya mendatangi kembali sebuah lampau dan kepiluan, seperti hendak mengulangi sebuah pertemuan yang pelik, perpisahan yang hampa.
"Aku takut kehilangan salah satunya, semakin hari semakin abu," kata Albania beberapa tahun silam.
"Na, aku tak bisa memahami banyak karena aku tak pernah berada di posisimu tapi aku merasakan bagaimana perasaanmu sekarang. Kalau kata Rumi, Na, jangan bersedih semua yang hilang darimu akan berganti dalam wujud yang lain. Bahkan kata Rumi juga, kosongkan kecemasan, pikirkan siapa yang menciptakan pikiran, mengapa kau terus terpenjara saat pintu lebar terbuka?
"Na, berjanjilah untuk terus bahagia. Untukku," tandas laki-laki itu.
Debaran lembut jantungnya kembali berdetak syahdu. Mengingat ucapannya yang lembut selalu menjadi candu yang paling manis.
"Jangan mundur, Na, para Nabilisme pasti pada iri kalau tahu kamu diajak ndalem," kata salah seorang teman kamar.
"Nabilisme?" Albania tak paham.
"Nama fans-nya Gus Nabil, loh."
"Astaga, ada komunitasnya juga?"
"Anak wustha itu banyak banget yang mengidolakan beliau. Markasnya emang."
"Eh tapi, Na, nanti kalau dapet kang-kang ganteng bawa satu, ya," ucap mbak berkerudung kuning yang sedang melipat baju di sebelah Albania.
"Di Nadwatul Ummah itu gudangnya. Jogja itu loh banyak memproduksi cowok cakep," sahut Albania sembari sesekali merapikan tumpukkan baju.
Nisa yang sedang menyetrika kerudung menimbrung, "Ketua tahun kemarin ganteng loh. Asal Jakarta. Blasteran Australia-Iran."
"Mas Kafa itu, ya," sahut yang lain.
Albania menghentikan kegiatannya sebentar, lalu mengambil beberapa kotak susu putih dari dalam lemari untuk di masukan ke ransel. Sejak kecil dia suka sekali susu putih. Dan rasanya mondok di sini tempat yang tepat, karena koperasinya selalu penuh dengan deretan susu kotak.
"Ngomongin cowok mulu kalian. Enak juga makan," sindir Albania.
"Enak ghibah," sahut yang lain.
"Eh, Na, dandan coba ntar. Si Asyas pasti langsung pangling."
"Nggak minat. Ngapain dandan buat cowok. Dandan buat diri sendiri biar nggak burik."
"Albania berfatwa, Hei."
"Albania," panggil seseorang.
Gadis itu menoleh. Dia mendapati Madinah yang berdiri di ambang pintu. "Aku mau ngomong sama kamu," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...