Aku bertanya pada semesta tentang bagaimana menghilangkan rindu. Ia menjawab, bahkan doa adalah bagian dari bahasa rindu, maka bagaimana mungkin rasa istimewa itu hilang selama doa masih termunajatkan?
"Mukmin yang baik ialah yang bisa mengoreksi diri sendiri. Menilai dirinya, bukan orang lain. Karena sesama murid tidak boleh saling mengisi raport, itu hak Allah." Begitu kata Gus Mus. Albania tersenyum saat tangannya tak sengaja meraih buku Konvensi yang ditulis oleh pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang itu. Hanya melihat birunya cover saja, ia langsung teringat perkataan Gus Mus tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap.
Bukankah memang benar sebagai manusia tak perlu menilai manusia lain. Jelas Albania masih merekam banyak cacian dan makian di memorinya. Di dunia ini manusia yang menilai sesama manusia masih banyak sekali jumlahnya, mereka melihat dengan jelas dosa orang lain tetapi buta dengan dosanya sendiri.
Gadis itu mengambil buku tersebut. Ia ingin membaca isinya. Buku-buku milik Gus Mus yang pernah dibaca tak ada satupun yang mengecewakan. Lain kali, ia akan membelinya sendiri agar bisa memberi tanda, atau menggaris bawahi bagian-bagian yang penting.
Sesaat, kedua mata gadis berkulit sawo matang itu mengarah pada sosok laki-laki bersarung yang tengah tertidur di samping rak. Wajahnya ditutup dengan peci, sedangkan tangan kanannya memeluk kitab Ihya Ulumuddin yang berada di atas dadanya.
"Asyas!" panggil Albania.
Laki-laki itu tak bergerak sedikit pun. Albania memberanikan diri mendekat. Santri bagian perpustakaan sedang mengaji. Di sini tak ada siapa pun kecuali mereka berdua.
"Woi, Asyas!" Kali ini suara Albania semakin meninggi.
Remaja itu menggeliat. Ia terduduk sembari terus memeluk kitab. Dipakainya peci, lalu memandang Albania, tajam. "Lo ngapain di sini? Sekarang, kan, jamnya santri putra di perpustakaan!" ketus Asyas. Perpustakaan yang lumayan besar ini hanya ada satu di pesantren. Jadwal kunjungan untuk santri putra dan putri memang berbeda tuk menghindari alasan mereka bertemu di tempat yang sama.
Biasanya setiap hari senin sampai rabu hanya boleh dikunjungi oleh santri putra, sedangkan sisanya untuk santri putri. Betapa sebenarnya anak putra memang jarang yang mengunjungi perpustakaan kecuali untuk sekadar membaca dan lanjut tidur karena sejuknya pendingin ruangan di sana.
"Aku anak baru nggak tahu peraturan," jawab Albania enteng.
Asyas menguap. Alasan basi. "Ganggu aja, lo!" Dia bangkit, melangkah menjauhi Albania.
"Cie dihukum," ledek Albania saat Asyas sampai di tengah pintu.
"Berisik!" ketus Asyas.
"Aku mau tanya," ujar Albania.
Asyas menghentikan langkahnya. Sebenarnya dia sudah malas melihat perempuan itu. Kembali di asrama pun ia akan terkena hukuman lagi karena tak mengikuti ngaji siang yang sekarang sedang berlangsung di masjid.
"Medina itu siapa kamu?" tanya Albania.
"Calon gue," jawab Asyas kemudian pergi meninggalkan Albania yang masih terdiam di perpustakaan.
Gadis itu terdiam, tersenyum kecil lalu melangkah meninggalkan perpustakaan. Dia tak tahu bila hari ini jadwal santri putra. Yang penting dia sudah berhasil menemukan perpustakaan di antara luasanya asrama saja seharusnya sudah patut diapresiasi.
Albania keluar dari perpus. Ia memakai sandal, lalu langkahnya terhenti sebentar ketika pandangannya berhadapan dengan bola mata cokelat terang di depan.
"Albania, kenapa masih di perpus? Bukannya sekarang jadwal ngaji?" tanya Madinah.
"Jadwal ngaji, ya? Aku lupa jadwal. Lain kali akan aku ingat-ingat lagi," sahut Albania.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...