Part 40 || Perginya Sang Pencinta

4.4K 490 271
                                    

Semua yang bernyawa akan mati, tetapi tidak dengan para pencinta.

—Al Hallaj

Usai melaksanakan tes, mereka langsung dipulangkan kembali ke asrama. Setelah turun dari mobil, Albania meminta izin keamanan untuk pergi ke rumah mamanya barang sebentar. Sejak memutuskan untuk mengambil tawaran, ternyata dia sama sekali belum meminta izin. Albania hanya perlu memastikan bahwa sebenarnya sang mama membolehkan.

Setelah diizinkan gadis itu langsung melangkahkan kakinya di bahu jalan. Kendaraan tampak sangat ramai, keadaan Jakarta memang selalu seperti ini.

Seketika gadis itu menghentikan langkahnya ketika hendak masuk dalam gang rumah mama. Ia membenarkan letak kacamata ketika pandangannya menangkap sosok laki-laki bercelana hitam serta berkaus jingga yang sedang duduk di warung seberang. Dia tampak memakan nasi dan seketika pandangan mereka berserobok untuk beberapa detik.

Albania terdiam memastikan. Untuk apa Asyas nongkrong di sana, bahkan laki-laki itu seharusnya segera pulang ke ma'had.

Asyas langsung bangkit. Albania masih diam. Laki-laki itu tampak merogoh saku celana, lalu memberikan beberapa lembar rupiah pada penjaga warung. Dia kemudian berjalan dan berdiri di sebrang jalan. "Gue ikut ke rumah lo. Gue nggak tahu rumah lo di mana, makanya gue nunggu di sini." Asyas berteriak.

"Jangan ke sini. Jangan ikutin aku, Asyas. Balik ke asrama."

Asyas tak mendengar ucapan Albania. Dia tetap keras kepala. Laki-laki itu berusaha menyebrang jalanan yang padat.

"Dasar batu," desis Albania.

Gadis itu berbalik hendak melangkah pergi  membiarkan Asyas berjalan di belakangnya. Namun, seketika langkahnya kembali terhenti saat dia menangkap suara benturan yang kelewat keras.

Buru-buru dia berbalik. Albania membulatkan matanya saat menangkap sosok laki-laki yang baru saja terpelanting beberapa meter hingga ke bahu jalan. Cairan merah tampak membasahi jalanan sekitar, truk yang baru saja menabraknya berhenti dan beberapa warga serta pengemudi mulai mendekat.

Kaki Albania seakan kaku tak bisa bergerak melihat kecelakaan di depannya. Melihat Asyas yang tertabrak oleh mobil di depan matanya. Ia berusaha menggerakkan kaki saat keringat dingin muncul membasahi, dengan sekuat tenaga ia langsung berlari menerobos kerumunan warga dan langsung bersimpuh di depan Asyas kemudian.

Darah tak berhenti mengalir dari kepala. Semua anggota tubuhnya mengeluarkan cairan yang mengerikan akibat tabrak yang begitu kuat. Albania menggeleng cepat. Ini mimpi. Ia harus segera bangun. Ini mimpi. Ia sedang merasakan lucid dream, kan? Ia membisu. Gadis itu tak tahan melihat luka-luka Asyas. Laki-laki itu terkapar di sana dengan pemdandangan sangat mengerikan.

"Dia siapa?"

"Polisi dan ambulance akan segera ke sini."

"Hubungi orang tuanya."

"Apakah dia santri? Kalau iya, tolong panggilkan pihak pondok. Kasihan dia."

Albania menggeleng. Ia merasakan hangat yang mengucur ke pipinya dan menyadarkan bahwa yang dilihat bukanlah mimpi. Laki-laki yang memejamkan mata di depannya tampak terkulai lemah.

"Asyas, tolong bangun. Asyas, bukannya kamu mau ke rumah mama? Asyas, ayo aku antar ke rumah mama," desis Albania. Ia berharap Tuhan akan segera membangunkan sosok di depannya.

"Asyas, ayo bangun!" Albania berteriak. Dia mendekat. Ia memegang pipi Asyas, bahkan ia tak peduli mahram-mahram entahlah untuk saat ini. Dia hanya ingin membangunkan Asyasnya, dia hanya ingin mengulang segalanya dari awal. Sungguh, dadanya terasa sakit, sesak dan semuanya telah terlambat.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang