Bab 37 || Memeluk Malam

2.8K 408 67
                                    

Sesungguhnya Tuhan memeluk setiap hamba yang menerima kehendak-Nya.

Malam-malam sekali gadis berambut hitam sebahu itu terjaga dari tidur. Ia melirik jam weker di dekat bantal, tepat pukul 01.35. Perlahan, ia mendudukkan dirinya lalu menatap gelapnya kamar selama beberapa menit. Sekitar dua puluh santri di kamarnya masih terlelap, sedangkan sejak tadi Albania sama sekali tak bisa menyenyakkan diri.

Andai dia tak sedang halangan, mungkin ia akan lebih merendahkan sujudnya pada Allah meminta beberapa petunjuk tentang kesempatan yang ditawarkan akhir-akhir ini. Gadis itu memegang kepalanya, merasakan denyut yang kemudian menyapa. Buru-buru dia bangkit, meraih kerudung yang digantung di atas lemari lalu keluar kamar mencari angin malam.

Asrama malam hari benar-benar sejuk. Dia berjalan ke arah pohon mangga yang berada di seberang lapangan depan kamar, memanjatnya, lalu mengambil beberapa yang terlihat setengah matang. Gadis itu menggigit kulitnya yang masih lumayan keras dengan sekuat tenaga, hingga kulit hijaunya benar-benar terkelupas.

Albania kemudian duduk di depan kamar sembari menikmati buah tersebut, menyaksikan belaian lembut desau malam yang sesekali mengibarkan jilbabnya.

Suara gesekkan langkah terdengar pelan. Albania menoleh ke arah gerbang masuk asrama yang dapat dilihatnya dari depan kamar. Dia menghentikan mengunyahnya, barangkali penjaga malam akan masuk ke asrama dan akan sangat berbahaya bila dia ketahuan dan dilaporkan. Seorang santri yang keluar malam tanpa tujuan memang masuk ke dalam kasus pelanggaran. Ah, beginilah dia tak suka banyak aturan yang mesti diterapkan.

Suara gesekan itu semakin mendekat. Namun terdengar lembut. Albania menjadi curiga bahwa itu bukan berasal dari penjaga malam, melainkan seseorang yang lain. Langsung saja dia membaca banyak salawat, istigfar, dan segala macam zikir yang dilafalkan dalam hati. Gadis itu turut berduka cita pada dirinya sendiri atas kematian rasa keberanian malam ini. Sesungguhnya Tuhan bukan hanya menciptakan manusia saja, dan pikirannya mulai banyak menciptakan praduga tentang banyaknya gosip makhluk-makhluk tak terlihat di pesantren ini.

"Albania!" panggil seseorang, lembut.

Gadis itu langsung menghela napas lega saat dilihatnya perempuan berdaster batik cokelat serta berkerudung moka yang baru saja masuk ke asrama. Dia tampak tersenyum, lalu berjalan ke arah Albania yang masih mengatur detak jantungnya.

"Nggak bisa tidur?" tanya Ning Ayas setelah duduk di sebelah gadis 18 tahun itu.

Albania tersenyum. "Kebetulan aja, Ning. Kok Ning Ayas malam-malam ke sini sendirian? Nggak bisa tidur juga? Gus Nabil ke mana?"

"Gus Nabil itu insomnia. Kadang beliau nggak bisa tidur tiga harian, beliau sering banget jaga saya waktu malam dan sekarang beliau lagi ngobrol sama penjaga malam di depan. Malam ini saya nggak bisa tidur, akhirnya ngajak beliau keluar dan saya izin ke sini memastikan suara mangga jatuh dan ternyata itu kamu," jelas Ning Ayas panjang lebar.

Ah, tadi Albania memang tak sengaja menjatuhkan mangganya dan barangkali sunyi berhasil mencipta bunyi yang lumayan keras sampai Ning-nya mendengar.

"Ah ya, Albania, kamu tahu nggak, sih, kalau Gus Nabil itu berharap banget kamu kuliah di Yaman. Katanya itu adalah kesempatan untukmu. Entah beberapa hari lagi ternyata pendaftaran sudah ditutup dan beberapa angkatan Perfecta ada yang mengajukan diri untuk mendaftar. Katanya mereka akan tes di satu tempat yang sama, memgambil yang di Jakarta."

"Eh Ning, sebenarnya saya juga ingin. Tapi saya masih mencemaskan mama. Ning Ayas tahu, kan, bagaimana keadaan rumah saya. Dan sejauh ini saya masih menimbang-nimbang untuk bagaimana ke depannya."

"Untuk hal itu saya juga tak banyak memahami dan kami pun nggak bisa memaksa. Itu pilihanmu akan ke mana." Ning Ayas tersenyum.

"Boleh nggak, aku bertanya satu hal sama Ning Ayas?" tanya Albania. Yang Albania rasakan sekarang, bercerita pada Ning Ayas seperti bercerita pada kakaknya sendiri. Bahkan Albania lupa bahwa sebenarnya ia masih memiliki Kakak. Usianya yang hanya terpaut dua tahun dengan Ning Ayas, benar-benar membuatnya nyaman. Ning Ayas yang kata para santri selalu open ketika diajak curhat, demikian pula pada Albania. Bahkan Albania merasakan lebih.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang