Malam mengajarkanku cara menyepi dari keramaian, sedangkan kau mengajarkanku cara merindu tanpa perlu dikatakan.
Allah telah memproklamasikan tentang kebesarannya melalui banyak tanda yang dapat terlihat. Luasnya langit malam yang selalu identik dengan kesepian sekalipun adalah tanda bagian dari cinta-Nya pada hamba, memberi waktu tuk rehat dari banyak rasa yang selalu terikat.Albania, perempuan bersarung putih serta berkaus cokelat muda itu menghabiskan malamnya di rooftop asrama yang baru ditemui kemarin ketika tak sengaja melihatnya dari gedung asrama pusat. Di bagian gedung belakang asrama ini sangat sepi. Tak terdengar apa pun selain embusan angin kota Jakarta.
Buku milik Cak Nun yang berjudul Anggukan Ritmis Kaki pak Kiai, dibacanya dengan khusyuk, membiarkan embusan lembut menera jilbab putihnya yang perlahan berkibar.
JADI, KENAPAKAH ENGKAU BISA BANGGA BAHWA ENGKAU CENDIKIAWAN, BAHWA ENGKAU MENTERI, KONGLOMERAT, DOSEN, ULAMA, SASTRAWAN, KIAI, BUDAYAWAN, SEMENTARA PUNCAK PELAJARAN DAN UJIAN HIDUP ADALAH BAGAIMANA LULUS MENJADI MANUSIA?
Albania tersenyum. Namun, hari ini banyak manusia-manusia yang sangat bangga dengan gelar yang dipunya. Ketika para manusia berlomba-lomba merebutkan gelar, popularitas, hingga lupa bagaimana menerapkan akhlak dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi setir dalam menjalankan roda kehidupan.
"Albania," panggil sebuah suara yang terdengar sangat lembut.
Albania menoleh refleks. "Madinah," desisnya saat melihat perempuan bergamis biru dari balik kaca mata yang membingkainya.
Perempuan itu tersenyum, lalu duduk di sebelah Albania. "Aku mau ngomong, kira-kira ganggu, nggak?" tanyanya.
"Silakan aja, sih. Aku bisa melanjutkan nanti baca bukunya." Albania menutup buku itu lalu dibiarkannya dalam pangkuan. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba Madinah datang padanya dan lebih dari itu, dia tahu keberadaan Albania.
"Beberapa santri dari Umar Bin Khattab diminta untuk ikut serta mengikuti Bahtsul Masail di Jogja. Di pesantren Nadwatul Ummah. Dan Gus Ismail meminta beberapa santri putra yang sedang mengabdi dan santri Ulya untuk menghadiri. Gus Ismail dan beberapa ustaz pun ikut serta.
"Dan di sini yang paling penting, Umi Hanin ikut dan meminta dua orang santri putri yang menemani. Ustazah Jihan menunjuk aku, Na. Dan aku diminta mencari teman sendiri. Jadi, kamu mau kan, nemenin aku ke Jogja?"
"Nadwatul Ummah? Aku nggak bisa!" tolak Albania.
Madinah terlihat bingung. Bagaimana mungkin perempuan di depannya menjawab tanpa perlu berpikir terlebih dahulu, "Kenapa? Kamu nggak mau berpikir dulu?"
Albania menggeleng cepat. "Nggak bisa, Din. Aku nggak bisa ke Jogja. Lebih dari itu aku nggak bisa ke Nadwatul Ummah."
"Alasannya?"
Albania terdiam sebentar. "Ada. Dan kamu nggak berhak tahu."
"Aku nggak memaksa, tapi kuberitahu padamu bahwa Asyas ikut."
"Aku nggak peduli."
"Bagaimana mungkin seorang kekasih tak merindukan seseorang yang dicintainya," sindir Madinah.
"Aku bukan kekasih Asyas."
"Albania, aku sudah merangkum cerita kalian berdua. Tak perlu berbohong padaku. Rasa memang kerapkali bertindak semena-mena. Tak mengenal tempat, tak mengenal waktu, tak mengenal suatu objek. Meski begitu aku akan berusaha terus mengerti bahwa kamu tak akan pernah mudah tuk menghapus namanya, kan? Semesta lebih patut diandalkan, bukan?" Madinah tersenyum kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...