Bab 25 || Jakarta Pagi Hari

2.5K 388 66
                                    

Adalah sebuah kemustahilan ketika manusia hidup tanpa memiliki harapan.

Selepas bertukar cerita tentang banyak hal yang menyangkut Albania dan perjalanannya, Gus Nabil dan Ning Ayas langsung pamit. Ibu Albania pun mengucapkan banyak terima kasih pada mereka berdua karena telah membebaskan biaya hidup Albania dan telah menjaganya saat di pesantren.

Albania keluar setelah pamit dengan sang kakek dan mama. Ia berjanji akan belajar dengan benar dan mencari beasiswa untuk tahun sekarang. Demi orang-orang yang peduli padanya. Agar mereka tersenyum ketika melihat keinginan tercapai. Ia telah melepas harapan, tetapi sang ibu dan kakek selalu percaya diri bahwa Albania mampu dan ia hanya akan mengabulkan harapan mereka.

"Gus Nabil sebenarnya mau ke mana?" tanya Albania ketika mereka bertiga keluar dari gubuk kakeknya. Pasalnya tadi itu pasangan tersebut seperti hendak pergi.

"Mau jalan pagi. Tapi sekarang mau pulang. Barangkali Ayas mau istirahat," jawab Gus Nabil.

"Emang Gus Nabil mau ke mana? Aku nggak papa ikut. Aku pengen jalan-jalan juga. Pengen beli martabak di deket taman kota itu," kata Ning Ayas.

"Albania ikut, yuk," ajak Ning Ayas.

Albania tertawa kecil. "Ah, sepertinya saya harus balik ke asrama, Ning. Mau istirahat dan persiapan ngaji siang juga," tolaknya lembut. Sebenarnya dia ingin ikut tetapi hati kecil menolak mengganggu keromantisan pasangan muda tersebut. Dia tak bisa membayangkan bila nanti menjadi obat nyamuk di antara mereka.

"Ya sudah, ayo jalan ke depan nanti segera balik ke asrama," ajak Gus Nabil.

Mereka bertiga berjalan menjauhi rumah tersebut, menuju jalan raya Jakarta yang belum terlalu padat. Masih ada sekat di antara satu kendara dengan kendara lain. Sepertinya udara pagi ini masih terlihat aman untuk berjalan kaki.

Tepat di tepian jalan, mereka melihat seorang santri putra bercelana training serta berkaus pendek hitam. Laki-laki bermata sipit itu berjalan dengan tatapan fokus ke depan.

"Al!" panggil Nabil.

Sang empunya nama menoleh. "Gus Nabil."

"Kamu mau ke mana?" tanya Gus Nabil ketika berdiri di depan laki-laki itu.

"Mau jalan ke depan sebentar, Gus. Sudah izin sama bagian pengasuhan."

"Ayo ikut kami. Albania juga," putus Gus Nabil.

"Hah? Nggak bisa, Gus. Saya mau mandi dan-"

"Sebentar. Ada Al kok."

Setelah sedikit berpikir, akhirnya Albania mengiyakan juga. Asyas menatap datar perempuan itu lalu berjalan di sebelah Albania dengan memberi jarak sekitar setengah meter. Di depannya sang Gus dan Ning tak pernah sekalipun lepas bergandengan.

"Kamu bilang Gus Nabil kalau suaraku enak, ya?" bisik Albania pada laki-laki di sebelahnya. Ingin sekali menjitak kepala Asyas, tapi digugurkan karena tak mungkin melakukannya ketika berada di dekat sang Gus.

Asyas melirik sekilas, lalu kembali menatap jalanan. "Keceplosan."

"Kapan kamu denger aku nyanyi sampai bisa memfitnah begitu?" cecar Albania dengan suara yang masih tertahan.

"Nggak pernah, emang hobi aja fitnah lo."

"Dih dasar."

"Tapi kan lo suka bisa ketemu Kafa lo."

"Mimpi buruk."

"Cie patah hati."

"Nggak usah ngeledek."

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang