Demi kenangan yang tak akan pernah terulang, katakanlah hendak ke mana rindu berpulang ketika hati telah menjelma kekosongan.
Ibrahim bin Adham suatu ketika sedang berjalan di tepi pantai. Tanpa sengaja, matanya melirik sepasang manusia berduaan dengan begitu mesranya. Terlintas di benak sufi ini bahwa sepasang kekasih itu sedang dimabuk cinta. Bukan hanya mabuk cinta, ternyata mereka juga sedang mabuk dalam arti yang sesungguhnya. Terlihat di sekeliling mereka beberapa botol minuman berseliweran, terdapat bekas botol yang baru saja selesai dikosongkan isinya. Beberapa saat, Ibrahim bin Adham terkesima dengan pemandangan yang dia lihat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia berpikir betapa musykilnya sepasang manusia ini, bermaksiat sedemikian mudah seakan tak ada berdosa
Tiba-tiba dalam jarak beberapa meter di depan mereka, gelombang laut mengganas menerjang pinggiran pantai. Menghanyutkan sesiapa yang berdekatan, tak pandang bulu. Beberapa orang berusaha berdiri, berenang, dan berlari menjauh ke arah daratan. Sebagian mereka bisa melepaskan diri dari terjangan ombak. Namun nahas, lima lelaki tak kuasa diseret gelombang. Seketika, lelaki mabuk yang sedang bermesraan di pinggir pantai itu berlarian menuju ke arah lima orang yang hanyut. Ia berusaha menarik satu-persatu lelaki yang hampir terbawa arus. Ibrahim bin Adham yang melihat kejadian itu hanya bisa tercengang, berdiri mematung di tempatnya. Antara tercengang dengan kejadian yang terjadi begitu cepat di depan mata dan juga tidak bisa berenang.
Sementara si lelaki ini begitu cekatan berlari dan berenang. Tak membutuhkan waktu lama, si pemuda mabuk tadi berhasil menyelamatkan empat orang. Kemudian ia kembali. Namun bukannya kembali ke perempuan yang tadi sempat ditinggalkan sejenak, lelaki ini justru menuju ke arah Ibrahim bin Adham. Belum terjawab kebingungan Ibrahim bin Adham, tiba-tiba saja, ia mengucapkan beberapa kalimat, padahal Ibrahim bin Adham tidak bertanya sepatah katapun.
"Tadi itu aku hanya bisa menyelamatkan empat nyawa, sementara kau seharusnya menyelamatkan sisa satu nyawa yang tidak bisa aku selamatkan."
Belum selesai kebingungan Ibrahim bin Adham, lelaki ini melanjutkan, "Perempuan yang di sebelahku itu adalah ibuku. Dan minuman yang kami minum hanyalah air biasa." Ia memberikan alasan. Seolah ia mampu membaca semua apa yang dipikirkan oleh Ibrahim bin Adham.
Kejadian sederhana itu mampu menyadarkan sang ulama terkenal, Ibrahim bin Adham. Seketika itu hati beliau dipenuhi sesal dan taubat. Lelaki yang sempat dianggap ahli maksiat ternyata jauh lebih baik dibandingkan beliau yang terkenal ahli ibadah. Kejadian itu begitu membekas dalam hidup Ibrahim bin Adham hingga wafatnya.
Di perpustakaan, Asyas mengambil buku "Sejarah Tuhan" yang ditulis Karen Armstrong. Sesungguhnya dia tak begitu suka dengan pelajaran yang melibatkan rumitnya pikiran. Dia hanya tak menemukan buku yang lebih menarik. Barangkali sedikit-sedikit ia ingin mengikuti jejak Gus-nya yang sangat menggilai pelajaran-pelajaran semacam itu. Semua buku-buku milik Gus Mus, Cak Nun, Quraish Shihab, Edi Ah Iyubenu, dan beberapa buku-buku berisi lainnya sudah tuntas dibaca. Bulan depan perpustakaan ini akan diisi buku baru dan Asyas menantikan waktu itu.
Entah beberapa menit lagi azan magrib akan berkumandang, sedangkan hukuman tuk menyetorkan Ihya Ulumuddin belum dituntaskan karena terbatasnya waktu yang terbataskan.
Asyas berjalan ke sudut perpus, duduk di balik rak buku lalu merebahkan dirinya di sana. Sedangkan buku yang tadi dibawa ia jadikan bantal dan memejamkan mata kemudian. Sungguh, cerita Gus Ismail tentang Ibrahim Bin Adham masih diingatnya sangat baik. Bahkan seorang sufi pun dapat terjebak dalam dimensi prasangka lalu bagaimana dengan dirinya dan manusia akhir zaman yang sangat mudah menjustifikasi tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu? Bagaimana dengan dia yang sering menilai tanpa berpikir panjang sebelumnya. Bukankah benar bahwa dunia ini hanya tipu muslihat yang indah?
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...