Bunga yang indah tidak akan pernah muncul di kebun manapun sampai ia merasakan penderitaan; hantaman hujan.
—
Al-Buhturi
Setelah asar berjamaah, remaja bersarung putih itu menyeret langkahnya menuju kumpulan kelas wustha untuk mengajar Imrithi. Di sepanjang jalan menuju ruangan yang berada di sudut asrama, dia masih berusaha mengingat bab-bab Ihya Ulumuddin yang akan disetorkan nanti sore. Sungguh, bahkan sebenarnya Asyas ingin melarikan diri ke perpustakaan dan menidurkan tubuhnya di sana. Tetapi untuk saat ini sepertinya tak mungkin. Bahkan ketika dia sudah mengabdi pun hukuman masih tetap menyapa.
"Hei, calon suami!"
Sayup-sayup, Asyas mendengar sebuah suara. Remaja itu menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah gerbang perbatasan santri putra dan putri. Seketika, ia tekejut mendapati Albania yang sudah berdiri di sana entah bagaimana cara dia berhasil melewati gerbang setinggi lima meter itu.
"Lo, ngapain di sini?"
"Ini buat kamu." Albania memberikan kotak makanan berwarna merah muda. "Tadi aku abis bantu masak di ndalem. Aku dikasih rendang sama Ibu. Separuhnya aku bagi untuk calon suami," jelas Albania diakhiri senyum bangga.
Asyas belum juga menanggapi kotak nasi itu. Bisa-bisanya meski di pesantren, Albania masih menjadi ekor baginya. Sungguh, laki-laki itu sudah muak dengan apa yang dilakukan Albania padanya.
"Mukanya lemes banget kenapa, Mas? Lebih berenergi Zombienya Train to Busan," komentar Albania.
"Apa, sih, lo? Makan sendiri," ketus Asyas.
"Capek-capek naik gerbang, malah ditolak," desis Albania.
"Gue lapor keamanan," ancam Asyas.
"Ish Asyas galak banget, sih," cetus Albania.
"Denger, ya, ini pesantren. Jangan pernah lakukan ini lagi. Jangan pernah mengusik kehidupan gue lagi. Berhenti, karena gue nggak mau berurusan sama lo lagi." Asyas menyeret langkahnya menjauh. Di satu sisi, sebenarnya dia penasaran dengan kehidupan Albania tetapi di sisi lain ia tak suka berurusan dengan makhluk bernama wanita. Ia telah dirugikan, ia telah kehilangan bagian dari tujuannya karena sosok yang tak ingin dilihat lagi.
"Jangan benci sama aku berlebihan, Yas. Kalau nanti kamu suka aku gimana?" kata Albania.
Meski tak keras, Asyas masih berhasil mendengarnya. Ia tersenyum kecut. Bagaimana mungkin dia menyukai perempuan itu disaat hatinya sudah terisi nama Medina. Mana mungkin ia mau bermain-main lagi dengan sosok yang sangat ingin dihindari.
🍁🍁
Albania membuka giftbox biru miliknya. Di dalam sana terdapat buku harian, beberapa sobekan aksara, beberapa lembar kertas print-an pesan pada salah satu aplikasi tukar chat—sungguh sebenarnya dia malu ketika melakukan tindakan konyol itu, meminta bantuan kang print untuk mencetak tukar pesannya dengan seseorang, dan paling penting beberapa potret remaja berwajah blasteran yang sangat tidak Indonesia sekali, masih tersimpan rapi di dalam sana.
Masa lalu kerap kali tak dapat dilupa meski telah menggunakan berbagai macam cara. Dan Allah memang seringkali mengingatkan pada hamba-Nya untuk jangan pernah berharap pada selain-Nya, tetapi fitrah manusia kerapkali melupakan dan hanya kembali mengingat saat telah kecewa.
Rabiah Al-Adhawiyah, dalam syairnya berkata bahwa katanya "Aku begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada pemiliknya. Lalu, bagaimana mungkin aku meminta hal-hal duniawi kepada yang bukan pemiliknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...