Di antara banyaknya Isim, aku hanya isim domir untukmu. Menjadi pengganti ketika dia pergi.
Bila pesantren umar Bin Khattab dinamakan asrama para perindu, maka Nadwatul Ummah adalah asramanya para pencinta.
Tepat pukul 21.09, asrama yang sering disebut asrama hijau pun sudah berada di depan mata. Kini, kedua kaki Asyas yang terbalut sandal hitam itu sudah berada di pelataran Nadwatul Ummah atau kerapkali disebut An-Nadwah. Seingatnya, ini adalah kali kelima ke sini dan ia selalu berhasil dibuat terpana dengan bangunannya yang semakin megah dan santrinya yang semakin padat. Suasananya yang masih sangat asri benar-benar menggambarkan wajah Jogja yang sebenarnya.
Terlihat Gus Ismail dan keluarga yang mulai masuk menuju rumah ndalem. Sedangkan para santri ditunjukkan kamar tamu untuk menginap malam ini.
Menuju kamar kamar tamu yang berada di komplek pusat Nadwatul Ummah, Asyas menghentikan langkah sebentar ketika tatapannya jatuh pada sebuah panggung megah yang berdiri kokoh di tengah lapangan nan luas. Panggung itu terbuat dari susunan-susunan papan yang telah dilukis meyerupai gambaran masjid Faisal Mosque di Islamabad sehingga ia terlihat betul-betul seperti bangunan mewah tersebut. Bahkan menaranya terlihat sempurna, menyala dengan lampu-lampu yang terpasang di sana.
Pada latar panggung itu terdapat tulisan yang sangat jelas. "PENTAS SENI PONDOK PESANTREN NADWATUL UMMAH" Sedangkan di bawahnya, terdapat tulisan "GALAXI GENERATION" menyala dengan lampu yang berubah-ubah.
Para santri putra terlihat masih sibuk, gotong royong menyempurnakan panggung tersebut dan beberapa menata pot-pot bunga di dekat tangga depan yang digunakan untuk naik ke atas.
"Gile, mau ada Pensi, ya?" tanya Hilmi entah pada siapa.
"Panggungnya loh mirip sama angkatan bawah kita waktu tahun kemarin," kata yang lain.
"Pensinya anak Galaxi, adik kelas Kafa," gumam Asyas.
"Al!" panggil seseorang.
Asyas menoleh ke belakang ketika mendengar suara yang tak asing di telinga. Sesaat dia tersenyum ketika pandangannya jatuh pada remaja bersarung hijau tua serta kaos hitam bertuliskan "Nyantri, Ngaji, Ngopi"
"Baru datang?" tanya Kafa.
"Iya. Ini kapan mau ada pensi, Fa?"
"Abis Bahtsul Masail."
"Galaxi angkatan bawah lo, kan?"
"Iya. Granada udah tahun kemarin."
"Mepet banget acaranya, Fa," komentar Hilmi. Sesungguhnya teman-teman Asyas, teman Kafa juga. Karena setiap pertemuan antar pesantren mereka sering bertemu dan bila ada acara saat liburan di rumah, mereka juga sering berkumpul. Kafa yang mudah bersosialisasi itu sangat mudah mendapatkan banyak teman, tetapi teman-teman Kafa bukan teman-teman Asyas. Laki-laki dingin itu tak membutuhkan banyak kawan. Asyas sudah nyaman dengan keadaannya yang seperti ini.
"Bahtsul Masail ini dadakan. Jadwalnya tiba-tiba dimajukan, jadi akhirnya besok pagi jadwal musyawarah di aula, malamnya insya Allah langsung pensi."
"Kita lihat dong, Al," kata Hilmi.
"Kalau nggak langsung pulang. Semoga aja sih."
"Dan ini lima masalah yang dijadikan bahasan untuk besok pagi." Kafa memberikan lembaran putih A4 pada Asyas. Terlihat lima nomor yang nanti akan dimusyawarahkan. Memilih pemimpin dari non Muslim, hukum mengunjungi tempat ibadah agama lain, tentang haid, jual beli dan endorsment. Terlihat pula para Musahih yang terdiri dari para Kyai, perumus, moderator dan Notulen.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...