Andai penaku terbuat dari belati, niscaya tanganku selalu berdarah setiap kali menggores rindu untukmu.
Gadis itu memperhatikan penjelasan sang guru dengan seksama setelah memberi makna pada beberapa baris kitab Tafsirnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, pengajian usai. Santri-santri melantunkan kalamun qadim dan setelahnya mereka langsung keluar meninggalkan ruang. Beberapa kelas lain barangkali masih sibuk dengan jadwal setoran Alfiyahnya.
"Na, kamu pernah mondok di Ali Bin Abi Thalib, ya?" tanya Nisa tiba-tiba.
Ruangan berwarna hijau itu sudah sepi, hanya tersisa Albania dan Nisa. Setelah ngaji pagi seharusnya mereka langsung piket lalu dilanjut menghafal nadhom bagi yang sudah tidak sekolah. Namun, bagi mereka yang masih Aliyah, setelah ngaji pagi adalah jadwal berangkat sekolah dengan kegiatan yang lebih padat lagi.
Albania yang tak memiliki tanggungan sekolah lebih memilih menetap di kelas barang sebentar. Ia mencoba mumbuat sketsa pada sebuah kertas putih HVS ukuran A4 yang dibawanya dari kamar. Gadis itu mencoba kembali menggambar setelah sekian lama tak pernah lagi melakukan. Hendak mandi pun, sepagi ini deretan kamar mandi dipakai oleh para santri yang sekolah dan dia lebih memilih mengalah.
Terakhir kali menggambar penuh barangkali sekitar dua tahun lalu. Saat dia masih berusia 17 tahun. Pada gambar terakhirnya, ia berikan pada orang yang sangat spesial menurutnya.
"Aku iri sama kamu, kenapa bisa menggambar sesempurna ini," katanya suatu ketika. Di dekat Nil lelaki itu menatap hasil gambar Albania dengan tatapan penuh arti.
Albania masih mengingat betul tentang kepribadiannya yang sangat pandai menghormati orang lain. Bila menyinggung tentang akhlak, maka kiranya dia adalah lelaki paling berakhlak yang dikenal.
"Masih belum serapi saudaramu. Tapi aku bikin itu sampe nggak tidur, loh. Jadi dijaga, ya," jawab Albania.
"Jangan menyuruh aku tentang sesuatu yang udah aku tahu jawabannya, Na," katanya.
Albania tersenyum. Jelas saat itu dia senang mendengar pujian demi pujian yang dikeluarkan untuknya. Hingga akhirnya mereka harus kembali berpisah karena habisnya masa libur lelaki itu di Mesir.
Ah, bernostalgia memang pekerjaan paling disukai yang sesungguhnya amat merepotkan. Hingga detik ini, dia belum juga mampu berdamai dengan masa lalu.
"Iya," sahut Albania apa adanya.
"Riwayat pendidikan kamu ribet, Na," komentar Nisa.
"Ye, aslinya nggak. Kamu aja nggak paham," bela Albania.
"Asli loh aku kaget kamu pernah sekolah di Mesir. Gimana ceritanya?" Nisa tampak tertarik. "Aku loh nggak sengaja liat data diri kamu sewaktu piket kantor kemarin. Cerita dong, Na."
"Ya intinya sewaktu SD aku udah mondok di Ali Bin Abi Thalib selama enam tahun, terus pas mau SMP aku sekolah di Mesir sampai kelas sebelas tsanawi¹ di sana. Karena banyak problem, akhirnya aku pindah dan balik lagi ke Ali Bin Abi Thalib buat menuntaskan setahun yang kurang. Jadi, ijazah SMA-ku tetap dari Ali. Aku ikut UN di Ali Bin Abi Thalib," jelas Albania. Sebenarnya ia paling malas bercerita, tetapi mengingat betapa kadar keingin-tahuan Nisa yang tinggi, membuatnya harus buka mulut. Ia tidak siap bila nanti malam-malam waktunya tidur harus dibangunkan hanya untuk dimintai penjelasan.
"Kenapa milih ke Mesir, Na?" tanya Nisa lagi.
"Ada banyak alasan, sih, salah satunya biar ketika aku mau kuliah di sana nggak melewati Darul Lughoh dulu," jawabnya.
Dan yang lebih penting dari itu, karena sebuah rumah yang tak pernah lagi menjadi tempat pulang.
Lalu perlahan banyak halangan yang mengharuskannya meninggalkan negeri para Nabi. Meninggalkan banyak cerita di sana, suka, duka dan cita-cita yang kemudian dilupakannya begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...