Bab 16 || Untuk Laki-Laki Bernama Asyas

2.8K 385 42
                                    

Yang lebih rumit dari Tijandarori adalah mencintai yang tak pernah dapat dimiliki.

Setelah menyelasaikan menambal kitab Tafsirnya yang kosong, Albania langsung mengambil buku sketsa di lemari. Sarung dan kaos yang dipakai sore tadi sudah digantinya dengan baju tidur panjang dan menit berikutnya, ia memakai jilbab, meraih cangkir kopi hitam dan membawanya menuju rooftop. Bagian keamanan yang sepertinya sudah tidur tak akan tahu bahwa ia keluar kamar menggunakan celana.

Tepat esok hari, Asyas ulang tahun yang ke sembilan belas. Setidaknya Albania akan memberikan kado terbaik untuk laki-laki itu. Bagaimana pun juga, Asyas pernah menolong Albania. Langkah Asyas selalu berhenti saat Albania memanggilnya. Dia ada saat Albania benar-benar membutuhkan bantuan sebulan lalu. Asyas hadir saat Albania benar-benar membutuhkan teman untuk menggugurkan niat ibu yang ingin menikahkannya.

Gadis itu duduk di kursi, memandangi langit malam dari kegelapan. Kartika bertabur menemani sepinya kali ini. Berteman dengan kesenyapan kerapkali dibutuhkan demi sebuah ketenangan yang jarang didapatkan. Namun, ia sering dibunuh oleh kesepian karena hati yang enggan berpaling dari lampau yang menyakitkan.

"Kamu pulang? Nanti kita nggak bisa ketemu lagi," ucap Albania pada laki-laki berkaus putih pendek di depannya.

"Ketemulah. Setiap tanggal satu, tujuh, sembilan, tiga belas, lima belas, dua puluh satu dan dua puluh tujuh keluarlah dari kamar. Kita lihat bintang. Karena waktu di Mesir dan Indonesia berbeda lima jam, kamu lihat ke langit pukul sepuluh dan aku lihat pukul tiga. Gimana?"

"Janji, ya. Jam segitu dan tanggal segitu aku usahakan untuk tidak tidur dulu sebelum lihat ke langit."

"Ya. Hanya disaat tanggal-tanggal itu."

Lagi-lagi sebuah percakapan manis itu dengan sangat otomatis diingatnya kendati menyakitkan ia egois, bukan? Laki-laki itu mengatakannya saat pertama kali mereka berjumpa, saat dia mengembalikan buku sketsa milik Albania. Dan konyolnya hingga sekarang, perempuan itu masih melakukan kegiatan yang entah sang Purnama Nadwah masih melakukannya atau tidak.

Perempuan itu menyesap kopi hitam dari cangkir, lalu meletakannya kembali di sebelah. Ditekan tombol lampu belajar kecil berbentuk kucing dan detik berikutnya cahaya kekuningan mulai menyinari sketsa putih itu.

Dia tersenyum, mulai mengingat-ingat wajah Asyas yang pernah dilihat saat mereka berdekatan. Pensil di tangan mulai menari di atas lembar polos menciptakan garis-garis indah yang membutuhkan ketelitian menciptakan kesempurnaan pada sebuah gambar.

Membentuk mata Asyas yang sangat sipit membutuhkan kepiawan lebih. Diam-diam Albania berpikir bahwa barangkali laki-laki itu memiliki ras Tionghoa. Putih dan sipit. Sebentar pun, Albania tak pernah tahu wajah ibu Asyas, mungkin anak itu mirip ibunya. Setahu Albania ayah Asyas sangat ketimuran.

Ia mengambil penghapus, tuk menghilangkan bagian yang salah saat mulai membentuk bulu mata. Padahal bisa dikatakan bahwa bulu mata Asyas tak benar-benar terlihat.

Langit sudah sangat pekat. Bintang-bintang di atas sana masih setia menemani Albania yang belum menyelesaikan tugasnya hingga kini. Dilihat jam dari arloji yang ditaruh di sebelah lampu, tepat pukul 01.11. Sebentar lagi jam setengah dua dan dia masih harus merapikan beberapa bagian yang berantakan.

Albania paling suka menggambar saat malam. Dua tahun lalu, sebelum Purnama Nadwah kembali ke Indonesia pun, ia sengaja tak tidur semalaman demi memberikan hasil terbaik untuk dibawanya pulang. Albania tak bisa memberi lebih. Ia tak memiliki banyak harta untuk diberikan sebagai kejutan yang mahal pada remaja itu. Namun, saat Purnama Nadwah-nya tersenyum, ia merasa sangat bahagia. Ia merasa sangat dihargai. Ia merasa memiliki tujuan saat dicipta ke dunia. Dulu, bahagia memang sesederhana itu, tetapi tidak untuk sekarang. Ia tak tahu lagi apa itu pengertian bahagia.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang