Namun, pada akhirnya musim bersamamu telah berlalu. Aku terlalu madhi untukmu yang mudhari'
Tak ada yang mengetahui tentang sebuah rasa yang tersimpan dalam palung terdalam, kecuali Dzat yang telah menciptakan semesta dengan segala isi yang memiliki milyaran rupa.
Begitupun tentang perasaan yang telah lalu. Tentang perasaan yang telah lama tak dikunjungi, tak pernah diziarahi. Entah telah mengering atau pun sama seperti dulu, ia tak tahu. Baginya yang fana memang kerapkali tak dapat dipercaya.
"Albania!" Sebuah panggilan menghentikan langkah kecil gadis berabaya merah maroon itu.
Di samping masjid pusat Nadwatul Ummah, jantung Albania berdebar tak karuan. Ia merasakan detak yang tak biasa. Debar syahdu yang tak telah lama hilang kini kembali muncul dengan seenaknya. Merenggut ketenangan dan menggantinya dengan cemas yang berlebihan. Ia cemas. Ia cemas bila ia harus kembali benar-benar tak mampu melupakan purnamanya."Berbaliklah! Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Apa kamu tak mau mengucapkan selamat jalan padaku sebelum aku pergi?" tanya Kafa dengan suara lembutnya yang khas.
Perlahan, Albania berbalik. Ia mendongak pada laki-laki yang 15 sentimeter lebih tinggi dari tubuhnya. Kedua mata yang terbalut kaca bening itu bertatapan dengan kedua mata hazel milik laki-laki berhidung mancung di depannya. Pandangan itu seolah saling berkomunikasi meski sang tuan tak mengerti bahasa semesta.
Beberapa detik kemudian, Kafa mengalihkan pandangannya menuju panggung Pensi yang dapat dilihat dari jarak 50 meter, lalu kembali memandang Albania.
"Gimana kabarmu? Kenapa lari ketika semesta menghendaki bertemu? Bukankah seharusnya kamu bersikap biasa saja. Semua sudah berakhir katamu. Semua sudah usai. Episode yang telah kita lalui telah mencapai endingnya. Ending yang bahagia menurutmu.
"Bukankah kamu yang menyuruhku pergi? Kamu yang mengatakan bahwa kamu tak membutuhkanku lagi? Aku sudah pergi. Aku sudah menuruti kemauanmu dan untuk kali ini tolong jangan menghindar. Bukankah ini ijabah dari doa-doa yang kau panjatkan?
"Aku tak akan mengganggumu lagi. Aku sudah memiliki badal. Isim domir yang menjadi penggantimu telah datang dan aku harap kamu bahagia dengan semua yang kamu tata. Kamu bahagia dengan keputusan-keputusan sepihakmu." Kafa menghentikan ucapannya.
Perih. Ada rasa sesak yang tiba-tiba memasuki dada Albania. Sedikit pun, Kafa tak pernah berbicara sekejam ini. Albania telah kehilangan Purnama lembutnya. Sinar bulan itu barangkali telah tenggelam oleh mendung yang menggelapkan. Ingin rasanya dia berlari dan menangis di pojokan kamar, tetapi bukannya ia harus berpura-pura kuat menghadapi semua ini. Segala yang terjadi adalah salahnya dan ia bukan Tuhan yang mampu membalikan waktu. Ia bukan Tuhan yang dapat bertindak sesuai Kun fayakun-Nya.
"Kamu tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja," suara Albania bergetar. Ia menunduk. Air matanya menetes. Semenjak kapan ia mulai menangis? Bahkan dengan segala penderitaan yang dilalui tak sedikit pun ia rela membagi air mata untuk semesta. Ia tak pernah lagi menangis sejak kepergian sang ayah. Terakhir kali dia rela menjatuhkan kristal beningnya, ketika dia mengungkap kebohongan pada purnamanya. Mengungkap kalimat-kalimat perpisahan yang menyakiti dirinya sendiri.
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Kelak, aku hanya ingin kamu tahu, entah beberapa tahun kemudian kau akan sadar bahwa dulu kau pernah memiliki kekasih yang hebat. Kau pernah memiliki kekasih yang peduli dan menyukaimu lebih dari dirinya sendiri, kau pernah memiliki kekasih yang sesungguhnya tak pernah ingin kehilanganmu.
"Aku tak pernah tahu, kamu pernah menyesal atau tidak. Tapi seenggaknya dari kamu aku tahu bahwa tidak semua yang kuanggap baik memang benar-benar baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...