Ketika kau telah bersabar dari perihnya perpisahan, sesungguhnya kau telah menyempurnakan salah satu rukun dari kemanusiaanmu.
Satu dari banyaknya ujian yang paling menyakitkan barangkali adalah ujian perpisahan. Karena setiap jiwa yang bernyawa, pasti akan menemui sebuah tembok yang menghalangi. Antara ditinggal dan meninggalkan barangkali menjadi bagian dari sebuah pilihan yang kerapkali menjadi pendukung sebuah ketidakpastian dari beberapa bagian kehidupan. Dan hari ini Asyas telah menunaikan sifat manusianya dengan mengadakan sebuah perpisahan yang cukup berakhir menyakitkan bagi satu pihak yang tak ia sadari.
Begitulah ketika dia ingin menyampaikan bahwa manusia bukan dicipta untuk menyimpan sebuah harap, bukan untuk dipercaya seluruhnya dan bukan untuk diikuti setiap kehendaknya. Hingga akhirnya ia menyadarkan Madinah tentang siapa yang tak pernah meninggalakan, tentang siapa yang tak pernah lari dan pergi.
Asyas, begitulah alasannya ketika dia melakukan sebuah kesalahan besar. Dia mencari dalil untuk membenarkan keputusan dan perbuatannya.
"Kamu gila, Al. Udah beberapa kali kamu bilang sama Madinah kalau kamu bakal nikahin dia? Hah?" sentak Hilmi di antara sepinya komplek Darul Irsyad Putra yang sangat sepi. Di depan koridor kamar, keduanya duduk di sana membiarkan malam menyaksikan segala kebodohan yang telah Asyas lakukan.
Remaja berambut hitam pekat itu terdiam. Ia lupa. Entah sekali atau dua kali Asyas pernah meyakinkan Madinah bahwa dia akan menikahinya bila semesta memang berkehendak. Entah beberapa kali juga Madinah selalu meminta kepastian dari hubungan yang kerapkali tak Asyas hiraukan.
"Albania. Apakah semua ini gara-gara Albania?" tanya Hilmi.
"Jangan ada yang menyalahkan dia. Albania nggak seharusnya dibawa dalam keputusan yang telah saya buat," jawab Asyas.
"Tapi kamu nggak seharusnya membuat keputusan yang bikin dia patah, Al. Dia itu perempuan yang mudah sekali kecewa. Apa kamu berpikir sebelummya bagaimana kalau nanti dia nggak akan pernah percaya lagi pada laki-laki?" tanya Hilmi.
Asyas menoleh. "Secemas itu kamu padanya? Bahkan kamu nggak memedulikan gimana bila berada di posisi saya. Hibur dia dan nggak seharusnya saya ceritakan semuanya padamu." Dia mengambil senter yang sempat ditaruhnya di sebelah, lalu melangkahkan kakinya menelusuri koridor menuju kamar 15 yang berada di lantai dua. Ia akan istirahat dan melupakan semuanya.
Sekarang tepat pukul 02.30. Sebentar lagi para santri akan terbangun untuk tahajud berjamaah dan ia akan tidur barang sebentar. Tidur bila memang bisa. Bila kembali gagal, cukup dengan memejamkan mata untuk menghindari tahajud berjamaah. Entah, ia tak ingin melakukannya malam ini.
🍁🍁
Albania mengambil kitab Fathul Jawad-nya dari atas lemari usai melaksanakan dua rakaat subuh berjamaah di masjid. Pagi ini pengajian dengan salah satu ustaz di kelas Ulya. Gadis itu mengambil sekotak susu putih lalu berjalan keluar sembari menghirup udara pagi yang masih sangat sejuk.
"Na, bareng dong," teriak Nisa dari dalam kamar yang sepertinya masih sibuk merapikan jilbab.
Albania yang baru saja memakai sandal jepit kemudian berdiri di depan kamar menunggu Nisa. "Tiga detik dari sekarang nggak keluar, dihukum bersihin dosa santri se-asrama," balas Albania dari luar.
"Astaga itu mulut emang asal ceplos," ucap Nisa yang baru saja keluar dari kamar. Gadis bersarung kuning itu lalu memakai sandal dan mereka berdua berjalan menuju kelas yang berada di gedung belakang.
Ah, hari ini barangkali Albania libur bertemu Asyas. Pasalnya mereka memang tidak seangakatan. Albania masih di Ulya, sedangkan Asyas sesungguhnya adalah guru yang masih harus diajari. Namun demikian Albania mengakui bahwa anak yang sering tidur ketika mengaji itu memanglah sangat cerdas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...