Teruslah berharap hingga pada sebuah titik akhir kerinduan, pertemuan hadir di antara getar yang tak terdugakan.
Asyas menghela napas lega. Setidaknya kehadiran Hilmi--temannya, dapat mencairkan suasana yang sejak tadi berjalan beku. Dia tak tahu bahwa akhirnya terkurung dalam penjara memuakkan. Barangkali hari ini dia kurang beruntung dalam hal pertemuan. Ah, bagaimana mungkin ia percaya ramalan zodiak yang di screenshot Hilmi pagi tadi. Katanya dalam hal asmara, Gemini sedang mengalami kehidupan cinta sedang rumit dan itu bisa memperlambat rencana masa depanmu."Dia siapa? Lo nggak jadi ke Bandung bersalawat?" tanya Hilmi. Tatapan matanya mengarah pada Albania sekilas, lalu kembali menatap Asyas yang berada di depannya.
"Nggak kenal. Jadi lah. Gila aja, tujuan gue ke sini buat hadir kok," jawab Asyas.
"Ya ayok. Maghriban dulu abis itu langsung ambil tempat," ajak Hilmi.
"Alfin sama yang lain udah sampai masjid. Mereka bawa spanduk sama bendera." Tawa anak itu berderai. Asyas tersenyum. Teman-temannya memang selalu bersemangat saat ada salawat semacam ini. Melebur malam dengan alunan suara menyebut nama manusia termulia sejagat raya memang memiliki kesan tersendiri.
"Al—" lirih Albania, seolah meminta pertanggungjawaban.
"Sumpah ya, bikin repot," gumam Asyas.
"Kepada ibu Albania yang belum saya ketahui namanya, izinkan saya untuk meminang anak ibu ini. Dan tentang jadwal pernikahannya, saya belum bisa menetapkan sekarang. Namun, kalau ibu keberatan membiayai kehidupan Albania, biar nanti saya yang akan carikan solusi," tegas Asyas tanpa pikir terlebih dahulu.
Albania langsung tersenyum, tetapi tidak dengan Hilmi. Remaja bersarung batik cokelat serta berkemeja hitam pendek itu terkejut dengan perkataan temannya. Satu kata yang barangkali terlintas di otak Hilmi. Gila. Bagaimana mungkin laki-laki itu dapat mengucapkan sebuah ikrar tanpa rencana. Apa maksudnya?
"Kamu punya apa? Anak seusiamu nggak akan bisa membiayai kehidupan Albania," oceh sang ibu.
"Tapi, kan, dia mau menikah sama Alban, Bu. Sudahlah jangan diperpanjang. Pada akhirnya kehidupan kami nanti seperti apa Alban janji nggak akan merepotkan Ibu. Sekarang udah, ya, ibu pulang. Udah magrib." Alban tampak menggandeng tangan ibunya, tetapi kali ini ibu itu tak ingin meninggalkan tempat.
"Lo apa-apaan sih, Al? Nggak inget Medin—"
"Gue tahu. Ini nggak serius," jawab Asyas.
"Dia cuma minta tolong. Ya udah barangkali udah selesai," lanjutnya.
"Besok kamu harus datang ke rumah!" tegas sang ibu pada Asyas.
"Ngapain?" tanya Asyas tak paham.
"Pinang dan nikahi dia lalu bawa Albania bersamamu."
"Ya, saya akan melakukan itu," sahutnya cepat.
Albania membelalakkan matanya tak percaya. Bagaimana mungkin masalah ini semakin rumit. Tetapi sudahlah, barangkali setelah mereka sampai rumah semua akan baik-baik saja. Semoga saja sang ibu akan berubah pikiran dan melupakan perjodohan-perjodohan ini.
Sungguh, dia tak habis pikir bahwa di usianya yang masih menginjak sembilan belas tahun harus mau dinikahkan dengan seseorang yang tak dicinta. Andai Asyas tak menolongnya, barangkali sekarang dia telah bertemu dengan anak dari pemilik pabrik gula di desanya.
Dalam keadaan seperti ini kerapkali ia tak paham dengan sebuah perencanaan, alur dan mau semesta. Ia bekerja sekehendaknya dan tak memikirkan Albania. Ia berjalan semaunya dan tak mau menunggu keputusan Albania. Selalu dan selalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...