Ketika jenazahku diusung jangan tangisi aku. Aku bukannya pergi. Aku baru saja menemui cinta yang abadi. Begitulah ketika Rumi mengatakan pada muridnya ketika ia tengah menikmati rasa sakit.
Gadis yang tengah menatap deburan ombak itu tersenyum. Dia mendengar setiap nada-nada bernama kerinduan. Enam bulan lalu, seharusnya ia tak perlu menangis menyaksikan pencinta yang hendak menemui kekasihnya. Pada dimensi yang telah berbeda, barangkali ia telah mencapai cita-cita tuk duduk semeja bersama yang paling ingin ditemuinya.
Kedua mata sayunya lalu memperhatikan teman-teman bergamis hitam yang tengah bermain-main di tepi pantai Mukalla.
Namun tidak dengan perempuan yang mencintai Rumi itu. Dia memilih menyepi berdamai seorang diri, membaca kembali buku milik seseorang yang teramat dirindukan.
Aku tak paham kenapa harus menulis ini, aku hanya merasa bahwa aku harus menuliskan ini saja. Kelak, pasti kau akan membacanya. Walau entah kapan.
Albania, ketika buku ini berada di tanganmu dan aku berada di sampingmu tolong persiapkan balasan atas kata-kata yang hendak kuucapkan lalu sampaikan padaku, namun bila kau membacanya saat aku tak ada, aku mohon mintalah doa pada Tuhan agar Dia menyelamatkanku. Karena sejatinya tak ada sebab aku meninggalkanmu kecuali atas kehendak-Nya.
Albania, mungkin terlambat. Mungkin terlambat saat aku menuliskannya sekarang. Padamu, sungguh aku harus mengakui dan jujur bahwa benar aku telah mencintaimu.
Albania, aku mencintaimu entah sejak kapan. Entah kau bisa memahami atau tidak tentang rasaku, sungguh aku tak mengerti. Jujur, saat kau tak menjawab mauku tuk menikah denganmu, aku sangat patah. Ada perih di dasar hati yang tak bisa kuceritakan sama sekali.
Albania, kau tahu saat di bandara kita bertemu Kafa. Dia berbisik padaku, dia memintaku untuk mencintaimu untuknya. Namun, aku mengingkari janji itu karena ternyata aku mencintaimu untuk diriku sendiri, aku mencintaimu karena seluruh kesadaranku, aku mencintaimu karena aku mulai paham bahwa padamu lah Allah mengingatkan tentang cinta-Nya yang bernama Rahman.
Aku tak tahu tentang perasaanmu padaku. Yang kupahami rasamu hanya untuk Kafa, bahkan aku sangat egois tak apa bila aku hanya mencintaimu sendirian, sungguh itu tak memberatkan. Kita dapat menjaga jarak, kita dapat menahan untuk tak pernah berkomunikasi tapi nyatanya aku selalu gagal dalam menyimpan rindu. Albania, bila kau tahu semua ini berat. Mencintai seorang diri begitu menyusahkan. Namun, aku menikmati itu.
Albania mungkin terlambat, seharusnya aku mengakui ini sejak awal. Ya, seharusnya aku segera meminangmu dengan serius saat kau meminta pertolongan padaku dihari pertama kita bertemu. Namun, saat itu aku masih beripikir bagaimana mungkin ada seseorang tak dikenal tiba-tiba datang padaku dan meminta hal yang tak pernah kubayangkan.
Kamu harus tahu, bahwa sesungguhnya aku sengaja untuk tak meminangmu saat itu juga karena membiarkanmu mengenalku terlebih dahulu. Aku bukan sosok sempurna, aku bukan santri teladan, aku bukan santri kepercayaan, yang kulakukan hanya melanggar dan memberontak peraturan.
Kamu harus tahu, sesungguhnya aku suka saat melihatmu mencari perhatian padaku. Aku suka saat kau memanggilku dengan sebutan Asyas, aku suka saat kau menceritakan tentang hidupmu padaku. Sungguh, ternyata kebahagiaan sesederhana itu.
Albania mungkin terlambat, tapi tak apa. Cintaku akan tetap ada. Aku akan tetap mencintaimu meski mungkin kau membacanya tanpa aku. Albania, bila aku masih di sampingmu tolong jangan mengusirku. Ayo kita ciptakan kebahagiaan yang terlambat ini lalu kita meminta pada-Nya untuk tak pernah dipisahkan.
Namun, bila di sampingmu tak ada siapa pun. Tolong cari kebahagiaanmu. Ini wajib. Saat aku tak di sampingmu pergilah ke mana kamu mau dan carilah makna hidup yang sesungguhnya. Albania, dari kamu aku paham, bahwa mustahil seorang manusia yang menginjakkan kaki-Nya di bumi Allah, tanpa mengenal harapan. Aku sudah memiliki harapan, dan harapan itu adalah membahagiakanmu. Namun, bila keinginanku runtuh karena Ia tak berkehendak, maka aku minta padamu lanjutkan harapanku carilah kebahagiaan sendiri. Berharaplah dan bermimpilah. Tak ada yang salah, percayalah bahwa Allah akan mengambulka do'a-mu di waktu yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Espiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...