Tanda i'rab nashab itu fathah, sedangkan tanda rindu adalah harap perjumpaan yang ingin terijabah.
Dalam setiap doa yang kerapkali direpal tuk Dzat maha kaya lagi selalu memberi, Asyas kerapkali melupakan segala harapan-harapan. Ia berusaha melupakan banyak asa. Ingin rasanya mengurangi banyak permintaan terhadap Tuhannya agar ia diberi sesuai kehendak Dzat maha tinggi itu. Terserah Dia memberi apa pun dan itu yang akan Asyas terima.
Pada perjalanannya menuju pulang, frasa selalu bertanya mengenai hal yang bahkan langit tak dapat menjawabnya. Semesta memang benar-benar sempurna dalam hal memberi kejutan dan ujian. Semesta selalu berhasil membuatnya bersikap seperti orang bodoh dan jarang terlihat tegas. Ah, hal semacam ini kerapkali membuatnya sulit menafsirkan sebuah kehendak. Rumit.
Tak terasa, kali ini kendara roda duanya mengarah pada sebuah rumah bercat maroon berpadu gold yang terlihat sangat mewah. Dari halaman rumah yang sangat luas itu, terlihat kolam renang di sebelah kanan bangunan dan beberapa rak buku yang berdiri persis seperti digambarkan dalam novel milik Jostein Gaarder yang berjudul The magic Library.
Asyas turun dari motor setelah melepas helmnya. Dia berjalan ke arah rumah yang sering terlihat sepi itu kecuali adanya beberapa asisten rumah tangga yang terlihat.
"Assalamualaikum," ucap Asyas sembari mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka sejak tadi. Sedikit keberisikan dari arah dapur membuatnya yakin bahwa sang tante sedang membuat sesuatu.
"Waalaikumussalam, Al! Sini sayang, masuk," jawab wanita berjilbab hijau muda bernama Kamila itu.
"Ah, ya tante Kafa mana?" tanya Asyas.
"Kafa di atas, Nak. Asyas berangkat ke pondok kapan? Sarapan dulu ya di sini," tawar Kamila.
"Aku udah sarapan. Tante bikin apa?" tanya Asyas. Laki-laki itu berjalan ke arah dapur dan diikuti Kamila kemudian.
"Tante lagi bikin pie buat Kafa."
"Kafa ke Cairo kapan?"
"Nggak tentu, Al. Dia masih menunggu penerbangan. Mungkin masih empat bulanan lagi. Tapi katanya besok dia mau balik ke ma'had. Kafa nggak pernah betah tinggal di rumah." Kamila mencoba sedikit bercerita sembari kembali meratakan adonan yang berada di wadah biru.
"Ah ternyata gitu, ya. Padahal istirahat dulu di rumah apa salahnya. Terlalu rajin juga kadang melelahkan," komentar Asyas.
"Tan, aku ke atas dulu, ya."
"Silakan, Sayang."
Asyas tersenyum. Dia berjalan cepat menaiki anak tangga satu per satu. Ah, andai waktu liburan masih banyak barangkali dia akan mengajak sepupunya itu berlibur. Mereka memang sangat suka ke luar negeri. Bukan hanya menyaksikan keindahan tetapi sembari belajar tentang bagaimana ragam budaya dan adat yang tak sama dengan negeri asal. Biasanya, kembaran Kafa—Kafi selalu mengajak mereka ke Barat, sedangkan Asyas mengajak mereka ke arah Timur dan saat tengah berdebat seperti itu Kafa hanya menunggu keputusan. Katanya musyawarah mereka enak disaksikan seperti Bahtsul Masail di pondoknya.
Setelah sampai di depan pintu kayu cokelat, Asyas langsung membukanya dan kedua mata sipit itu mendapati remaja bertelanjang dada dengan celana pendek biru yang sedang mengambil handuk dari lemari.
"Lo bisa ketuk pintu dulu nggak, sih, kalau masuk?" Kafa langsung dibuat kesal. Dia mengambil handuk bergambar Real Madrid, lalu menyampirkan di pundak.
Asyas tertawa. "Lupa." Dia memilih rebahan di sofa. Menyalakan tv kemudian mencari channel kartun.
"Nggak jelas," sergah Kafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...