Hingga pada akhirnya disadari oleh para pencinta, bahwa sesungguhnya luka adalah bagian terbesar dari cinta itu sendiri.
Tentang sebuah perelaan barangkali Albania telah belajar sejak beberapa tahun silam. Tentang kepergian, tentang perpisahan dan tentang segala hal perih yang begitu menyakitkan ia terima begitu saja. Dan kali ini ia kembali ditimpakan sebuah kekecewaan. Apakah derita akan menjadi teman setianya?
"Untuk kekasih yang telah pergi dan padanya kenangan tak pernah terulang, dan kapada rindu yang tak lagi bertuan, mengheningkan cipta, mulai!" ucap seseorang tiba-tiba.
Albania yang tengah terdiam di meja makan salah satu rest area bersama Ning Ayas, mendongak. Ia memandang Asyas yang kemudian mengulurkan ice cream rasa cokelat padanya. Keluarga ndalem sudah meninggalkan rumah makan sejak sepuluh menit lalu, sedangkan Albania masih di sana menunggu Gus Nabil yang tengah membayar makan siang mereka.
"Jangan mulai!" Albania mengambil ice cream itu. Asyas duduk di kursi lain memberi jarak. Bagaimana pun juga ia tak mau sampai ditegur oleh Ning-nya yang sedang memainkan ponsel.
"Masih mikirin Kafa, Ban? Kan masih banyak stock cowok," oceh Asyas.
"Sejak kapan sih kamu peduli sama aku? Kamu nggak akan ngerti." Albania membuka bungkus ice cream itu, lalu menjilat bagian atasnya sedikit demi sedikit.
"Tipe lo bule-bule kayak Kafa gitu ya? Di Bali banyak noh."
"Apaan sih? Nggak lah. Kebetulan."
"Kalau lo masih suka dia ngapain ditinggalin?"
Albania mendengkus. Ia menggigit lebih banyak cream-nya lalu dikunyah kemudian. "Keluargaku yang hancur berantakan itu nggak pantas untuk Kafa, Yas. Papaku yang bejat itu nggak pantas menjadi mertua dari seorang laki-laki yang sempurna seperti Kafa. Aku malu. Aku malu bila harus memaksakan hubungan ini. Aku tahu Kafa tak akan memedulikan segala kekurangan, Kafa bukan laki-laki yang selalu memandang suatu kelebihan karena sifat yang mendominasi dia itu menerima, tapi sebagai sosok yang lemah aku sadar diri bahwa pilihanku hanya mundur.
"Di luar sana barangkali banyak hawa yang bersaing dalam doa merebutkan Kafa. Mereka memiliki keluarga yang lengkap, harta yang banyak, dan menurutmu apa aku pantas bersanding di sebelahnya dengan keadaanku yang serba kekurangan?
"Hingga pada akhir titik di mana keluargaku benar-benar patah, keheningan rumah mulai mendominasi karena tak ada lagi pertengkaran di dalamnya karena papa telah pergi, maka aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Kafa. Berbohong padanya bahwa aku akan menikah dengan laki-laki lain." Albania menghentikan sebentar ucapannya. Dia tak peduli lagi bila lebih banyak orang yang mengetahui masa lalunya. Toh semua yang diingat adalah fana.
"Sungguh, sebenarnya lebih banyak alasanku untuk bertahan bersama dia daripada pergi meninggalkan. Sesungguhnya aku masih terus bertanya-tanya, apakah aku benar-benar ada di dunia ini? Aku benar-benar terlahir? Dan aku mulai merasa bahwa aku ada ketika Kafa mencintaiku yang berarti dia telah memandangku dan aku mulai paham kenapa Tuhan menciptakanku. Kehadiranku di dunia ternyata untuk dicintai oleh dia. Ternyata Tuhan tak membiarkanku mengarungi dunia yang mengerikan ini sendirian. Ia hadirkan Kafa tuk menemani, ia hadirkan dia tuk memberi arti hingga dengan segala kebodohanku, aku memilih alasan yang sedikit dengan membiarkan perpisahan ini terjadi.
"Dan sekarang kembali seperti dulu. Aku sendirian. Aku kembali bertanya pada Tuhan tentang maksud ketika Dia menciptakanku ke dunia. Selain untuk mengenal-Nya lebih jauh untuk apa lagi? Namun sudahlah. Semua sudah usai. Aku akan mencari jawabannya sendiri."
Asyas terhenyak mendengar cerita Albania. Namun, dia belum memberi tanggapan apa pun kecuali menyadari bahwa Ning Ayas yang duduk dekat Albania yakin mendengarnya, hanya saja dia berpura-pura tidak menghiraukan. Perempuan itu masih sibuk dengan ponsel dan sesekali membuka buku Konvensi milik Gus Mus yang dipegang sedangkan Gus Nabil sepertinya ke kamar mandi terlebih dahulu. Hingga sekarang pemuda itu belum muncul juga.
"Tapi kan Kafa sukanya sama lo. Lagian lo menang di otak kok. Ngapain harus pesimis," debat Asyas.
Albania menggeleng. "Aku tidak sepintar Kafa juga. Udah lah pokoknya semua udah kelar, aku nggak mau bahas ini lagi." Dia menggigit lebih banyak ice cream-nya. Entahlah, Albania memang tak bisa makan ice cream berlama-lama karena sesungguhnya bila sudah cair berbeda esensi ketika merasakan manisnya.
Asyas tak menanggapi. Baginya sudah cukup. Ia sudah menyaksikan banyak tentang alasan perpisahan yang didengar dan barangkali alasan Albania memang cukup masuk akal bagi Albania sendiri. Dia memang bertindak seenaknya. Bagi Asyas, Albania memang berbeda. Ia tak bisa menebak apa yang ada di otaknya, pikirannya, bahkan perasannya. Albania tak sama dengan perempuan di luar sana yang menginginkan tetapi tak sungguh-sungguh ingin mendapatkan. Albania terlihat tak pernah memedulikan tetapi jelas sesungguhnya ia membutuhkan.
Teringat tentang beberapa tahun silam perpisahannya dengan seseorang yang pernah disebut sebagai harapan. Namun nyatanya benar hidup ini tentang ditinggal dan meninggalkan. Keduanya adalah ujian yang tak bisa dihindari dan perlahan Asyas mengerti bahwa perpisahan itu adalah awal dari episode baru kehidupannya. Tuhan memang tak pernah henti memberi kejutan. Dzat yang maha kaya lagi kuasa itu selalu berhasil membuat tiap episode rasanya berwarna seperti pelangi setalah hujan di langit sana.
Perpisahan dan pertemuan adalah kombinasi sempurna. Keduanya sama-sama egois, keduanya sama-sama tak bisa dimengerti. Namun bukankah tugas Asyas dan Albania memang hanya menerima takdir. Untuk tak pernah berprasangka buruk pada Allah? Bukankah Dia telah menggantungkan seluruh pasrahnya pada Dzat yang tak pernah membocorkan rahasia?
"Sudah, kan? Ayo pulang." Tiba-tiba suara seorang laki-laki memecah keheningan.
Asyas dan Albania menoleh bersamaan. Gus Nabil telah berdiri di depan Ning Ayas sembari menyodorkan dompet miliknya "Gus, abis dari mana? Aku udah kelar tujuh halaman." Ning Ayas berdiri sembari mengambil dompet suaminya yang kemudian dimasukkan ke tas kecil. Bukunya ia tutup.
Albania dan Asyas berdiri ketika pasangan itu bersiap-siap pergi. "Abis ke kamar mandi. Padahal bentar, kamu baca cepet banget," komentar sang Gus.
"Gus Nabil yang lama. Gus, pulangnya ke toko buku dulu ya bentar. Aku pengen cari buku buat referensi tugas."
Albania yang berjalan di belakang pasangan suami istri yang selalu bergandengan tangan itu hanya mencoba menikmati drama di depan. Entah sampai kapan romantisme itu berakhir di depan matanya? Apa mereka berdua tidak sadar bahwa di belakang terdapat kaum patah hati yang sejujurnya iri melihat rasa manis itu?
"Tadi sebelum berangkat janji apa, Sayang?" tanya Gus Nabil.
"Janji nggak ngajak jalan-jalan. Tapi sekarang aku ngajaknya ke toko buku. Aku rindu aromanya. Aku pastikan Nabil junior baik-baik aja," kata Ning Ayas.
"Kirim wishlist kamu. Nanti aku belikan."
"Aku mau ikut."
"Aku beli di online shop, Sayang. Aku nggak akan ninggalin kamu."
Ning Ayas tersenyum.
Setalah sampai di dekat mobil hitam milik Gus Nabil, sepasang suami istri itu langsung masuk lalu disusul Albania dan Asyas yang kembali duduk di belakang.
Gus Nabil mengarahkan mobilnya keluar parkiran dan diam-diam Albania memperhatikan raut wajah Ning Ayas dari kaca di depan. Perempuan itu tampak ingin menyampaikan sesuatu tetapi tertahan. Apakah dia menyimpan banyak tanya untuk Albania tapi tak dikeluarkannya karena sungkan dengan suaminya? Albania tak paham. Namun sejak tadi, Ning Ayas terlihat sering mencuri pandang ke arah Albania dari spion yang terlihat.
Yay, kurang panjang ya apdetnya? Ntar ya kalau apdet lagi dipanjangin wkwk
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik ^^
Salam 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] Utawi Iki Iku (Completed)
Spiritual*Ibrahim bin Adham "Dia yang sudah berjanji akan menikahiku, Bu!" "Kamu siapa?" Tuduhan spontanitas itu berhasil memasukkan Asyas ke dalam labirin teka-teki yang rumit. Pertemuan dengan Albania Tirana, gadis tak dikenal membawa mereka pada benang me...