6 & 7

1K 79 2
                                    

Aku sengaja bikin Babnya, soalnya kepanjangan kalau untuk satu bab.




Bab 6

B 16-21

Waktu menunjukkan pukul 1 malam, hiruk pikuk dunia malam membuat Jakarta tidak pernah senyam-sunyi. Salah satu club malam menjadi tempat pilihan Raka, Mike, Doni, dan Erga, menghabiskan waktu. Mereka menyukai club ini karena difasilitasi meja bilyard di lantai teratas. Kaca dinding di depan meja bilyard bisa melihat pemandangan ke bawah tempat orang yang berjoget ditemani DJ.

Doni yang bersiap melakukan push out dalam bola bilyard mulai risih dengan gerak-gerik Raka. Cowok itu membalik-balikan ponsel di tangannya. Wajahnya tampak berfikir.

"Banting aja banting! Atau kasih gue hape lo. Amal, dari pada lo puter-puter terus kan kasian hape-nya pusing," ujar Doni memutar bola mata pada Raka.

"Bacot! Sodok aja bola lo. Kebanyakan strategi! Setahun baru nyodok bolanya," cibir Raka. Matanya menunjuk bola yang digantung Doni seperti hubungan.

"Sabar dong, gue kan pengen nembak sekali langsung gol," tukas Doni, lalu menyodok bolanya. Ternyata meleset, cowok itu mendengus kesal. Raka tertawa meledek.

Erga tersenyum licik. "Lo lagi mikirin Dede gemes ya? Sosor terus jangan kasih longgar. Body sama mukanya nyaris sempurna, Rak."

"Lo serius mau deketin anak SMA, Raka?" tanya Mike, menautkan kedua alisnya. Segitu banyaknya anak cewek di kampus mereka yang cakep-cakep. Kenapa Nayla? Mike bingung.

"Yang lebih dari Nayla, lo tolak. Padahal mereka cantik, sexy terus bukan anak SMA lagi. Yakin berlabuh di hati cewek itu? Manja lagi anaknya." Erga mengeleng di tempatnya berdiri memegang tongkatnya.

Mike mengambil minuman beningnya, sambil melirik pelayan wanita yang mundar-mandir dengan pakaian seragam kurang bahan. Cowok itu bersiul menatap paha mulus dan buah dada yang menonjol.

Raka tidak menggubris ledekan kawan-kawannya. Tapi tebakan mereka benar. Cowok itu sedang memikirkan Nayla, cewek yang mengganggu pikirannya semenjak turun gunung. Pandangannya kini beralih pada Doni, temannya itu sedang menggoda pelayan yang sedang menyusun bola. Salah satu hoby Doni mengumpulkan nomor-nomor cewek.

"Kalo lo nggak garcep, bisa ditikung Doni Rak." Erga mengompori.

Mood Raka hilang untuk menyodok bola. "Gue cabut duluan. Nggak mood main bilyard." Raka melangkah dengan santai tanpa perduli teriakan temannya.

"Boy, pembicaraan kita belum selesai. Lo kemana?" teriak Doni, kedua kawannya yang lain tertawa menatapi kepergian Raka.

Cowok berbalut jaket kulit dan celana robek itu hanya melambaikan tangannya ke belakang sambil berjalan.

Raka menghentikan motor di depan rumah mewah kalangan elite, daerah Menteng. Dia melangkah ke rumah bergaya klasik itu sampai ke anak tangga menuju kamarnya.

"Den. Den Raka kok tumben?" teriak wanita bertubuh subur dan tinggi yang ala kadarnya.

"Tumben apa Bi Surti? Tumben nggak pulang pagi," jawab Raka menghentikan langkahnya melihat Bi Surti. Wanita itu adalah asisten rumahnya yang sudah bekerja puluhan tahun di keluarganya.

Bi Surti tersenyum. "Iya tumben nggak pulang pagi," kata Bi Surti. "Anu, Den. Bapa sama Ibu lagi ada urusan keluar kota," tambahnya lagi dengan ragu.

"Raka tau Bi. Mereka selalu ada urusan nggak pernah nggak. Bilang saja sama Papa suruh transfer uang ke rekening Raka," kata Raka seraya melanjutkan langkahnya.

"Transfer buat apa Den kalau ditanya Bapa?" teriak Bi Surti dengan wajah mendongak ke atas.

"Buat beli rumah," jawab Raka asal. Cowok itu tersenyum, dia suka sekali menjahili Bi Surti.

NAYLA (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang