part 23

8.8K 249 5
                                    

Bughhhh!! Bughhh!!!
Sungguh tak ada rasa sakit yang kurasakan pada tubuhku akibat pukulan Dimas. Fikiranku hanya berada pada Rindu istriku.

"Laki-laki brengs*k kamu, apa belum puas kamu menyakitinya. Bukankah aku pernah bilang jangan pernah menemui dia. Sekarang lihat karena kelakuaanmu, adikku sekarat. Kalau sampai adik dan keponakanku kenapa-kenapa akan ku buat kau menyesal, sekarang kau pergi kau dari sini" usir Dimas padaku.

"Sudah Nak, biarkan Nak Arkan disini, bagaimana juga Arkan suaminya. Tante tahu kamu sayang sama Rindu, tapi disatu sisi Rindu masih tanggung jawab Arkan" cegah mertuaku saat Dimas di liput emosi untuk mengusirku.

"Tapi tan..".

"Tante mohon, jangan ada kegaduhan disini. Kita disini sama-sama mendoakan keselamatan untuk Rindu" kulihat Mama Widya menenangkan Dimas.

"Arkan minta maaf, sungguh Arkan tak ingin membuat Rindu celaka. Arkan merasa hidup tak ada tujuan lagi tanpa Rindu dan anak kami. Saat mendapat informasi keberadaannya, Arkan langsung menemuinya tanpa memikirkan keadaan terburuk yang terjadi, maafkan Arkan Ma. Arkan tidak menepati janji pada Mama. Arkan membuat anak Mama terluka lagi" isakku sambil memegang lutut Mama mertuaku Mama widya.

"sudah nak, jangan begini, semuanya takdir. Sekarang kita berdoa, semoga Rindu baik-baik saja" balas Mama widya sambil menuntunku untuk berdiri, kulihat sorotan seorang ibu yang terluka di mata Mama Widya.

"Keluarga Ibu Rindu" panggil Dokter yang baru saja dari ruang IGD.

"Saya suaminya Dok. Bagaimana keadaan istri saya?".

"Begini Pak, Ibu Rindu mengalami kehilangan banyak darah. Kondisi bayi di kandungannya juga melemah. Oleh karena itu perlu dilakukan transfusi darah. Saat kondisi sudah memungkinkan akan dilakukan operasi untuk menyelamatkan bayi di kandungannya" Jelas Dokter padaku. Lututku terasa begitu lemas, tak mampu rasanya aku menopang tubuh ini. Kurasakan Papa mertuaku menahan tubuh ini agar tidak tumbang.

"Lakukan yang terbaik untuk anak kami Dok" ucap Papa mertuaku.

"Iya Pak, pasti. Kami akan lakukan yang terbaik, saat ini kami membutuhkan bantuan transfusi darah dari pihak keluarga Ibu Rindu. Karena golongan darah O negatif sedang kosong, kalau menunggu dari PMI takutnya tindakan yang di lakukan terlambat".

"Darah yang cocok dengan Rindu cuma darah papanya. Tapi beberapa hari ini Papanya darah tingginya lagi kumat Dok, apa bisa?" tanya Mama mertua pada Dokter.

"Tidak bisa Pak, itu bisa membahayakan kondisi pendonor".

"Darah saya saja Dok, saya O negatif" ucapku pada Dokter. Aku harus bisa menyelamatkan istri dan Anakku.

"Baiklah, mari kita lakukan pengecekan dulu sebelum pendonoran di lakukan" ujar Dokter padaku lalu berlalu meninggalkan kami.

"Nak Arkan yakin, kondisi Nak Arkan lagi tidak stabil. Takutnya kenapa-kenapa" tahan Mama Mertua.

"Arkan yakin Ma. Arkan tidak mau kehilangan anak istri Arkan, doakan saja pengecekan nanti bagus hasilnya. Jadi Arkan bisa menyelamatkan Rindu" ucapku memohon do'a pada Mama.

***
Kulihat lampu ruang operasi masih menyala, kami menunggu di luar dengan perasaan was-was. Kulihat Papa berusaha menenangkan Mama Widya, sedangkan Dimas terlihat mondar-mandir, sesekali memberiku tatapan tajam.

Rasanya aku begitu malu pada kedua mertuaku, termasuk Dimas. Mengingat perlakuaanku kepada Rindu, rasannya sunggub tidak berperasaan, dan sekarang Rindu sedang melawan maut karenaku.

Lampu didepan ruangan operasi sudah di matikan, pertanda operasi selesai.

"Bagaimana keadaan istri dan anak saya Dok?" segera kudesak Dokter untuk menjelaskan kondisi istri dan anakku.

"Operasinya berhasil, tapi saat operasi tadi Ibu Rindu kondisinya mengalami penurunan, tapi sekarang sudah stabil lagi. Dan untuk anak Bapak mereka sekarang sudah berada di ruangan NICU, kondisi mereka sangat lemah. Kita berdoa semoga mereka baik-baik saja" jelas Dokter padaku.

"Mereka maksud Dokter" tanya Dimas.

"Pihak keluarga tidak tahu kalau Ibu Rindu hamil kembar?".

"Tidak Dok..." jawab Mama widya.

"Ya sudah, saya permisi dulu. Semoga Ibu Rindu bisa melewati masa kritisnya".

"Tunggu Dok. Apa saya bisa menemui istri saya?".

"Untuk sekarang belum Pak, nanti kalau sudah dipindahkan keruangan ICU" Kulihat Dokter sudah meninggalkan kamk disusul beberapa orang perawat di belakangnya.

"Nak. Lebih baik sekarang kamu keruangan NICU dulu. Apa kamu tidak ingin mengadzani bayi kalian?. Rindh biar kami yang nungguin" jelas Mama padaku.

"Ma, Arkan sudah lama tidak melakukan kegiatan itu. Arkan takut salah" ucapku dengan isak. Kata-kata Mama sukses menamparku. Aku selama ini sudah lama melupakan kewajibanku sebagai muslim. Trauma di masa lalu membuatku jauh melupakan penciptaku.

"Papa yakin kamu bisa Nak. Ingat, sekarang kamu tidak hanya sebagai suami, tetapi juga sebagai seorang ayah, pundakmu harus kuat" ucap Papa meyakiniku.

"Iya Pa, Arkan permisi dulu" pamitku segera menuju ruang bayi.

***
Kulihat dua bayi mungil berada di dalam inkubator yang bergandengan. Hatiku begitu terenyuh, melihat tubuh kecil mereka di penuhi oleh oleh alat-alat medis. Segera ku kumandangkan Adzan kepada mereka. Air mataku sukses meluncur lagi. Kupandangi kedua bayi mungil ini, meskipun umur mereka belum cukup di perut Mamanya sembilan bulan. Tubuh mereka sudah sempurna, mereka terlahir dengan masing -masing berat delapan ons.

Anak yang pernah tidak aku akui itu, mereka mewarisi kecantikan ibunya. Dan untuk jari-jari pada tangan dan kakinya persis seperti jari-jariku yang panjang. Mereka juga sama memiliki tanda lahir oada tangan kirinya, persis seperti aku pada saat bayi.

"Maafin Papa ya Nak. Karena Papa kalian terlahir cepat kedunia ini. Kalian dan Mama harus kuat ya sayang. Biar bisa main sama Papa, sama Mama. Papa yakin kalian kuat seperti Mama" Kuhapus air mata yang masih mengalir ini, sekarang aku menjadi laki-laki cengeng.

Belum beberapa lama setelah aku menyemangatinya, kulihat kedua tubuh bayiku kejang-kejang keduanya. Kulihat angka monitor jantung mereka menurun begitu cepat. Perawat yang bertugas menjaga putriku dilanda kepanikan. Mereka langsung memanggil Dokter.

Sungguh rasanya jantungku tidak karuan. Tumpuan di kaki ini begitu goyah.

"Kalian harus berjuang sayang, kalian harus kuat" isakku.

Kulihat dokter bertindak dengan cepat, tapi angka di monitor itu tetap menurun, sampai akhirnya mencapai angak nol.

"Maaf Pak, kami sudah berusaha. Tapi Tuhan lebih sayang mereka. Kedua bayi Bapak meninggal" jelas Dokter padaku.

"Nggak mungkin Dok, Dokter bohongkan" sungguh rasanya tidak mungkin. Kejadiaan hari ini terjadi begitu cepat. Baru saja aku menemui mereka , sekarang aku harus kehilangan.

"Bapak harus sabar".

***
Setelah pemakaman kedua buah hatiku, aku langsung menuju ruangan Rindu. Dia masih saja betah dengan tidurnya, tidak ada tanda-tanda dia akan bangun.

Sepuluh hari sudah berlalu, aku tetap setia menemani Rindu di ruangannya, Meskipun aku selalu mendapat tatapan sinis dari Dimas, mertuaku selalu menguatkan ku. Sedangkan orang tuaku sedang perjalanan pulang dari Inggris.

"Bangun sayang, apa kamu nggak capek tidur terus. Kamu harus kuat, bidadari kita sudah pergi, Mas hanya punya satu bidadari sekarang. Kamu bangun sayang, Mas bakal ngejelasin semuanya, Mas sayang kamu" ucapku sambil membelai rambut istriku.

Takdir PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang