Mata Kedua Daruma | Adiputri Zulfa | Majalah Bobo

57 7 0
                                    

Untuk kesekian kalinya aku melongok ke luar pagar. Aku khawatir kalau-kalau ada sepeda Pak Pos yang terlewat melintas tadi. Sudah empat hari ini aku menunggu kedatangan surat Himawari, sahabatku dari Jepang. Aku biasa memanggilnya Hima-chan.

Kami bertemu kurang lebih satu tahun yang lalu. Waktu itu, ia dan keluarganya berkunjung ke desaku. Sejak saat itu, kami tak berjumpa lagi dan hanya berkirim kabar melalui e-mail. Setiap seminggu sekali aku selalu memeriksanya. Betapa girangnya aku ketika seminggu yang lalu Hima-chab mengatakan ia telah mengirimkan sesuatu untukku. Seharusnya, kiriman itu sampai padaku minggu ini. Rasanya tak sabar untuk menunggunya.

Aku melompat dari dudukku saat seorang bapak berseragam jingga membuka pagar bambu rumahku. Pak Pos tersenyum geli saat melihatku melompat kegirangan.

"Dari Osaka, lo, Dik!"

Aku tertawa senang. "Ma kasih, Pak!"

Buru-buru kubuka kotak yang jauh-jauh datang dari Jepang itu. Ying, kucingku, melompat di sela pagar, lalu berlari ke arahku. Kotak itu berisi sepucuk surat dan kotak lain yang lebih kecil. Aku menyobek tepi amplop cantik berwarna putih itu.

"Untuk Desi."  Aku membaca seolah Ying ikut mendengarkan.

"Apa kabar? Kami di sini sehat-sehat saja, meskipun cuaca di Osaka sangat dingin. Salju menumpuk di sana-sini. Bagaimana dengan Kembangarum?"

"Wah, Ying, Hima-chan sudah pandai berbahasa Indonesia!" seruku takjub. Ying mengeong. Mungkin, ia juga sama takjubnya denganku.

"Himawari sangat senang saat menerima batik dari Desi. Ibu menjahit batik itu menjadi rok. Sekarang hampir setiap hari Himawari mengenakannya ke sekolah."

Pluk! Selembar foto jatuh dari dalam amplop. Ah, itu Himawari yang sedang mengenakan rok batiknya! Cantik sekali.

Kulanjutkan kembali. Membaca surat Hima-chan.

"Himawari mengirimkan sesuatu untuk Desi."

Aku segera meraih kotak putih yang lebih kecil tadi. Sebentuk boneka keluar dari dalamnya. Boneka berbentuk agak bulat tersebut tak terlalu besar. Warna dasarmya merah menyala dihiasi ornamen berwarna emas. Menarik! Anehnya, boneka tersebut tidak memiliki tangan, kaki, maupun mata.

"Itu adalah boneka Daruma, boneka tradisional Jepang. Bagi Himawari, Daruma sangatlah istimewa."

"Seperti yang Desi lihat, Daruma tidak memiliki tangan, kaki, dan mata. Biasanya, orang Jepang akan menggambar sebelah mata Daruma saat memiliki suatu keinginan. Mata Daruma tidak akan lengkap hingga kami berhasil mencapai ke-inginan tersebut. Jadi, bagi orang Jepang pada umumnya, Daruma adalah simbol keteguhan cita-cita."

Aku tersenyum membacanya. Satu lagi hal menarik yang kudapatkan dari Himawari.

Ying memainkan Daruma yang kuletakkan di pangkuanku. Ia menggelindingkan Daruma ke kanan dan ke kiri. Cepat-cepat kuselamatkan Daruma sebelum Ying mulai menggigitnya.

"Ada satu hal lagi yang istimewa dari Daruma." Kubaca paragraf selanjutnya dari surat Hima-chan.

"Saat terjatuh atau menggelinding, ia akan kembali berdiri tegak."

Aku memperhatikan boneka tersebut. Bagian bawahnya memang datar sehingga memungkinkannya berdiri. Kucoba menyenggol Daruma ke kanan. Hap, Daruma kembali berdiri. Kusenggol lagi ke kiri. Hap, ia bangkit lagi! Kulihat, Ying mulai tergoda. Gawat! Kuurungkan niat untuk memainkannya sekarang.

"Nana karobi ya oki. Ini adalah pepatah Jepang yang artinya 'jatuh tujuh kali, bangun delapan kali.' begitulah Daruma."

"Meskipun jatuh berkali-kali, Daruma akan bangun lagi dan lagi. Daruma melambangkan sikap pantang menyerah." Seketika jantungku berdegup lebih kencang.

"Berjumpa lagi dengan Desi adalah salah satu impian besar Himawari."

Begitu pula denganku, Himawari. Aku menjawab dalam hati.

"Himawari akan terus berusaha hingga suatu saat kita bertemu lagi. Apa impian Desi? Apapun itu, Himawari mendukung Desi selalu. Ganbatte kudasai! Tetap semangat!"

Aku melipat kembali surat dari Himawari dan merapikan bungkus paket yang berserak. Kuisyaratkan pada Ying untuk segera masuk.

Ying melenggang mengikutiku. Kututup pintu rumah dengan hati yang tetap. Akan segera kulukis sebelah mata Daruma dengan impian yang kini berkobar di dalam dadaku.

Kumpulan Cerpen Dari MajalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang