Komputer Kang Tarji | Yosep Rustandi | Kampung Permata

47 5 0
                                    

Kang Tarji adalah tetanggaku. Sudah setahun yang lalu dia lulus dari SMK. Setiap hari kerjanya mengetik. Jendela kamarnya selalu terbuka. Kalau aku mau berangkat sekolah di SDN 02, aku suka melongokkan kepala ke dalam kamarnya. Kang Tarji sedang duduk di depan komputer, mengetik entah apa.

"Aku sedang membuat karangan. Aku sangat berharap ada karanganku yang dimuat koran atau majalah, dan mendapatkan honor," katanya ketika kami berangkat ke perpustakaan daerah sepulang aku sekolah. Kami naik sepeda. Kami adalah anggota perpustakaan daerah. "Aku ingin cepat mengganti gerobak bubur ayam bapak. Dan nantinya bisa menabung dan kuliah."

Rupanya komputer Kang Tarji dibeli dengan menjual gerobak bubur ayam bapaknya. Sekarang bapaknya berjualan bubur ayam dengan gerobak sewaan.

***

Kami tinggal di perkampungan yang kata orang kumuh. Gangnya sempit. Penghuninya adalah para pegawai kelas pesuruh, atau pedagang keliling. Bapakku berjualan bakso. Emakku buruh di laundry.

Aku bangga tinggal di sini. Setiap hari aku melihat orang-orang bekerja keras. Dari subuh Bapak belanja ke pasar, paginya dibantu Emak membuat bakso, dan siangnya berjualan sampai malam. Kang Tarji juga mungkin melihat kebiasaan kerja keras seperti itu. Karenanya dia menulis setiap hari. "Setiap hari harus selesai satu karangan," katanya.

Sayangnya, suatu hari komputer Kang Tarji rusak. Tidak menyala sama sekali. Kang Tarji mencoba membuka tutupnya, melihat-lihat siapa tahu ada kabel yang putus. Tapi Kang Tarji tetap tidak mengerti. Akhirnya komputer itu dibawa ke service.

Pulang sekolah aku melihat Kang Tarji sedang termenung di pos ronda. Aku menghampirinya. "Jadi kita ke perpustakaan hari ini, Kang?" tanyaku.

Kang Tarji memandangku, lalu mengangguk lemas. "Tanpa komputer aku ini tidak bisa apa-apa. Setiap hari aku membaca. Di kepala ini sudah banyak cerita yang ingin diketikkan. Sementara komputerku harus ditebus seratus ribu rupiah," kata Kang Tarji mengeluh.

Aku tidak menanggapi, karena memang tidak tahu apa yang mesti dikatakan.

Di perpustakaan, kami mengembalikan buku, memilih lagi buku baru, lalu pulang. Tapi ketika mau ke parkir sepeda, hujan turun. Kami pun berteduh, sambil membuka-buka buku yang baru dipinjam.

"Zaman dulu, orang menulis di daun lontar," kataku, membaca tulisan di sebuah buku. "Tapi bisa banyak juga ya, Kang, menulis di daun lontar."

"Apa katamu? Menulis di daun lontar? Horree... aku dapat ide! Aku dapat ide!" Kang Tarji berteriak-teriak, lalu merangkulku. "Kamu hebat! Sekarang aku dapat ide!"

Kang Tarji mengajakku pulang saat itu juga. Meski tidak mengerti, aku menurut saja. Hujan masih gerimis.

"Aku punya ide. Kenapa tidak menulis saja di kertas. Menulis yang banyak. Zaman dulu saja bisa menulis di daun lontar. Ide itu dari kamu. Terima kasih, Sobat." Kang Tarji menjabat tanganku erat-erat. Lalu merangkulku. Senyum tersungging di bibirnya.

Sejak itu aku melihat Kang Tarji selalu menulis. Subuh ketika aku membuka jendela kamar, jendela kamarnya sudah terbuka, Kang Tarji sedang menulis. Waktu aku berangkat sekolah, aku melongokkan kepala ke kamarnya, Kang Tarji sedang menulis. Waktu aku menutup jendela menjelang tidur, Kang Tarji sedang menulis.

Minggu pagi, aku baru pulang membantu Bapak belanja ke pasar. Pintu rumah diketuk orang tergesa, dan sebelum dibuka, Kang Tarji sudah masuk duluan. Di tangannya ada sebuah koran. "Mang," katanya kepada Bapak. "Karanganku dimuat koran. Ini karangan pertamaku yang dimuat koran. Ini hebat." Kang Tarji merangkul bapakku. Lalu merangkulku.

"Terima kasih, Sep. Ide kamu hebat. Sekarang aku bisa menebus lagi komputerku. Aku bisa mengetik seluruh karangan yang sudah ditulis di kertas."

Sore menjelang maghrib, bapakku pulang berjualan bakso. Selesai shalat Bapak dan Emak mengajakku ke rumah Kang Tarji. Ternyata di sana sudah berkumpul tetangga lainnya. Emak membawa bakso. Ada juga yang membawa kue pukis, gorengan, mie goreng, semangka, dan buah lainnya. Bapak Kang Tarji memimpin doa, mengucap syukur karena karangan Kang Tarji dimuat koran. Lalu kami makan bersama.

Aku bangga tinggal di sini. Di perumahan yang kata orang kumuh. Di sini penghuninya selalu penuh semangat, bekerja keras, bersyukur, dan kekeluargaan yang begitu erat.

Kumpulan Cerpen Dari MajalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang