Perburuan Lobster | Pawit Mulyadi | Majalah Bobo

62 8 0
                                    

Markus dan Yono mendapat teman baru. Bonar namanya. Ketiga anak itu tinggal di sebuah perkampungan transmigran di Papua. Markus anak asli Papua, Yono anak transmigran dari Jawa Tengah, dan Bonar dari Medan. Bonar ikut ayahnya yang pindah tugas sebagai penyuluh pertanian di kampung transmigran. Walaupun pindahan dari kota, Bonar tidak canggung. Ia juga menyukai suasana pedesaan.

Suasana perkampungan transmigran sangat nyaman. Di pinggir kampung, mengalir sungai yang sangat jernih dan dangkal. Ikan dan bebatuan di dasarnya terlihat jelas. Selain berhawa sejuk, kicau burung masih sering terdengar. Sesekali, terlihat sekumpulan burung nuri kepala hitam terbang bebas melintas di atas rumah warga. Orang-orang menyebutnya "urip" karena burung itu memang bersuara, "Urip! Urip!"

Sepulang sekolah, Markus, Yono, dan Bonar berencana mencari lobster air tawar atau lat di sungai. Udang besar itu memang banyak dijumpai di sungai.

Setelah makan dan berganti pakaian, mereka bertiga membawa tombak ke sungai. Tombak mereka buat dari sepotong bambu kecil yang ujungnya diberi jeruji sepeda yang diruncingkan.

Ketika menyusuri jalan setapak yang licin, Bonar kesulitan mengikuti langkah kaki kedua temannya.

"Ayo, Bonar, cepat sedikit! Nanti keburu hujan. Kalau hujan, sungainya dalam, lo," ujar Markus sambil menarik tangan Bonar.

"Iya..., ini juga sudah cepat," sahut Bonar agak kesal.

"Lepas saja sandalnya, Bonar! Nanti terpeleset!" saran Yono.

"Tidak mau, nanti kakiku kotor."

Sesaat kemudian, Bonar benar-benar terpeleset dan tercebur ke dalam sungai.

"Makanya, tadi kusuruh lepas sandal. Kamu, sih, tak mau," ujar Yono.

"Anak kota takut sama tanah, ya?" sindir Markus.

Yono dan Markus menolong Bonar yang basah kuyup. Mereka bertiga lalu melanjutkan pencarian lobster. Sesekali, Markus membalikkan batu untuk mencari persembunyian lobster. Yono siap mengarahkan tombaknya.

"Eee, itu! Itu, merah-merah!" teriak Bonar.

"Mana? Mana?" sahut Markus.

Dengan cekatan Markus mengarahkan tombaknya. Tepat sasaran!

"Kus, ini lobster apa?" tanya Bonar.

"Oh, ini. Kata orang-orang, kalau warnanya merah, namanya red clow," jawab Markus.

Markus sibuk memasukkan tangkapan ke dalam keranjang yang dibawa Bonar. Sementara itu, Yono juga mendapatkan buruannya. Hari itu, mereka mendapat lima ekor lobster. Markus mendapat tiga ekor, Yono dua ekor, sedangkan Bonar tidak mendapat seekor pun.

Setelah puas, mereka bertiga memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan sambil bercanda riang. Bonar berkali-kali mengayunkan keranjang bawaannya yang berisi lobster. Tanpa disadari, seekor lobster merambat keluar keranjang dan mencapit jari tangan kanan Bonar.

"Aduh... aduh... aduh!" teriak Bonar sambil menarik tubuh lobster.

Bonar menarik lobster agar capitnya lepas dari jarinya. Tetapi, lobster malah mengencangkan capitnya. Bonar bingung dan berteriak kesakitan. Markus menyuruh bonar tenang. Ia bergegas memencet jari tangan Bonar. Perlahan, lobster itu melepaskan capitnya. Capitan lobster itu ternyata membuat jari Bonar tergores dan berdarah.

"Tolong, antarkan aku ke dokter!" kata Bonar.

"Mana ada dokter di sini? Adanya Pak Mantri," sela Yono.

"Pak Mantri juga tidak apa-apa, yang penting jari tanganku diobati!"

Dengan kalut, mereka bertiga bergegas ke rumah Pak Mantri. Jari tangan Bonar segera diobati.

Ketiga sahabat itu lantas pulang ke rumah masing-masing.

Seperti yang telah disepakati, malamnya mereka berkumpul di rumah Yono untuk membakar hasil buruan. Yono dan Markus menyiapkan kayu bakar di bawah pohon mangga untuk membakar lobster. Setelah menunggu agak lama, Bonar muncul.

"Kok, belum tercium bau lobster bakar?" ujar Bonar.

"Lobster bakar dari mana? Lobsternya, kan, kamu bawa!" tukas Yono.

"Tidak! Markus yang bawa!"

"Aku tidak bawa, Bonar! Kalau aku yang bawa, pasti sudah kubakar," tegas Markus.

"Jadi? Aaah, pasti tertinggal di pinggir sungai! Malam-malam begini, siapa yang mau mengambilnya?" tanya Yono.

"Tidak usahlah! Nanti ada babi hutan!" larang Markus.

"Kalau begitu, kita tak jadi makan enak!" celetuk Bonar kecewa.

Mereka bertiga tertawa kecut, mentertawakan kekonyolan mereka sendiri.

"Apa yang kalian tertawakan?" suara seseorang mengagetkan mereka.

Rupanya, Pak Jaka yang baru pulang memancing. Ia membawakan keranjang lobster milik Yono. Keranjang itu ditemukannya di pinggir sungai. Sayang, lobsternya tinggal tiga ekor. Pasti yang dua ekor merayap keluar ketika mereka tinggal. Walau begitu, ketiga sahabat itu tetap girang, karena bisa membakar hasil buruan mereka. Perburuan lobster mereka tidak sia-sia.

Kumpulan Cerpen Dari MajalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang