Surat Untuk Jaya | Gik Sugiyanto HP. | Majalah Bobo

46 6 0
                                    

Hari masih pagi ketika Runi mendapati bangkunya kotor. Penuh corat-coret pensil dan spidol. Bukan itu saja, di sekitar bangku, tercecer serutan pensil, guntingan kertas, dan karton bekas. Seperti bekas pekerjaan prakarya.

Selama ini, bangku nomor dua dari depan di ujung kiri kelas itu, bersih dan rapi. Sebab Runi rajin membersihkannya. Namun hari itu, kotor sekali. Runi kesal. Hari itu, ia giliran tugas membersihkan ruangan kelas. Sebenarnya berdua dengan Amri, tetapi Amri selalu datang terlambat.

"Malas jadinya kalau begini terus!" keluh Runi. Kelas masih sepi. Jam pelajaran pertama baru dimulai 30 menit lagi. "Tiap hari dibersihkan tapi kotor lagi, kotor lagi!"

Meski kesal, Runi menyelesaikan tugasnya sebelum pelajaran pertama dimulai. Ruang kelas di sekolah Runi memang tidak banyak. Itu sebabnya, kegiatan belajar dilakukan pagi dan siang. Siswa kelas satu-dua-tiga masuk pagi, siswa kelas empat-lima-enam masuk siang. Pada siang hari, ruangan kelas Runi, digunakan untuk kelas lima.

Saat pelajaran terakhir, Runi menulis surat kecil. Perasaan kesal masih menyelimuti hatinya. Maka ia menulis dengan agak kasar.

"Buat kamu si Jorok. Biasakan membuang sampah di bak sampah. Jangan corat-coret bangku. Kayak anak TK saja. Awas, ya, kalau diulang lagi! Biar adik kelas, badanku pasti lebih besar dari badanmu. Akan kuhajar kamu nanti! Dari Borman."

Untuk menakuti murid kelas V yang jorok itu, Runi mengaku bernama Borman. Sebetulnya, Runi tidak berbohong juga. Borman itu nama bapaknya. Nama lengkapnya, Runi Borman. Kalau harus berkelahi nanti, biar Bapak saja yang maju. Runi tersenyum sendiri.

"Ada yang lucu?" tanya Melia, teman sebangku Runi.

"Akum au ngerjain kakak kelas yang duduk di bangku kita ini. Habis jorok banget!"

Kertas kecil itu diselipkan di dalam bangku.

"Siapapun yang duduk di sini siang nanti, pasti menemukan tulisanku!" gumam Runi ketika meninggalkan bangku untuk pulang.

Keesokan harinya, Runi menemukan kertas balasan. Dengan berdebar, ia buka kertas yang dilipat kecil itu. Isinya mengagetkannya.

"Buat Borman, si Sok Bersih. Jangan ajari aku soal kebersihan, ya, Dik. Tapi kalau mau nantang berkelahi, siapa takut? Badanmu boleh lebih besar, meski baru kelas tiga. Tapi aku jago Kungfu. Carilah hari baik, bulan baik, kapan kita bertemu untuk berkelahi! Dari Jaya, kelas lima."

Runi tertawa cekikikan membaca isi surat itu.

"Gertakanku berhasil," ucapnya kepada Melia.

"Wah, bener? Bakal ramai, nih!" komentar Melia.

Runi menulis balasan yang lebih menantang.

"Hai, Jaya. Jangan sombong dengan Kungfu-mu itu. Paling-paling kamu keok kehabisan jurus begitu melihat hebatnya bantingan gulatku. Hari Minggu depan, pukul 10 pagi. Kita bertemu di belakang sekolah. Kita selesaikan masalah kita secara jantan. Ingat, tidak ada orang lain, hanya kita berdua! Dari Borman."

Minggu pagi, Runi pergi ke sekolah sendiri. Ia akan bertemu Jaya. Agak was-was juga. Kalau Jaya nekat menantang berkelahi, akan kupanggil bapakku yang pelatih gulat, batin Runi.

Dengan bersepeda santai, Runi berangkat memenuhi janjinya. Kurang sepuluh menit jam sepuluh, ia sampai. Ia langsung ke belakang sekolah, ke rumah sederhana Pak Kartim. Penjaga sekolah itu, sudah belasan tahun setia mengabdi di sekolah Runi.

"Tumben hari Minggu datang. Ada acara apa, Neng?" tanya Pak Kartim yang sedang memperbaiki sepeda tuanya. Bu Kartim dan seorang anak lelakinya duduk di bangku panjang di bawah pohon Ketapang.

"Ada janji dengan teman ketemu di sekolah!" jawab Runi. Runi menyandarkan sepedanya, dan ikut duduk di bangku panjang.

Tepat pukul sepuluh, serombongan anak laki-laki dan perempuan memasuki halaman sekolah. Hati Runi agak khawatir. Jangan-jangan mereka berkomplot. Seorang anak perempuan tomboy, menghampiri Pak Kartim. Yang lain langsung menuju ruang prakarya.

"Pak Kartim, kalau ada anak lelaki kelas tiga bernama Borman, yang ingin ketemu Jaya, kami tunggu di Ruang Prakarya, ya!" ujar anak perempuan cantik bertubuh mungil itu.

Deg! Runi kaget. Jadi, dia harus berhadapan dengan Jaya dan rombongannya itu? Tiba-tiba hatinya ciut. Namun sesaat kemudian ia melangkah maju.

"Kak, Kakak, ya, yang bernama Jaya, yang ngajak Borman berkelahi?!"

"Iya. Namaku Jayanti, biasa dipanggil Jaya. Apa kamu yang bernama Borman? Kukira laki-laki!"

"Itu nama bapakku. Kalau harus berkelahi, biar bapakku yang maju. Namaku sendiri Runi!" ujar Runi sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Jayanti memasang wajah tegang. Matanya melotot seperti menahan amarah. Tentu saja Runi ikut tegang dan waspada. Jangan-jangan, bukan jabat tangan yang didapat, tetapi serangan mendadak. Beberapa detik suasana tegang. Namun tiba-tiba sekali, Jayanti tertawa terbahak-bahak.

"Siapa yang mau berkelahi? Ha ha ha... Aku hanya menggertak untuk memancingmu datang ke sekolah hari Minggu ini. kamu harus tahu, kenapa bangku kita kotor berantakan!"

Beberapa detik, Runi tertegun, kaget, kemudian ikut tertawa. Semula ia senang berhasil menggertak, tetapi rupanya justru ia yang kena gertak.

"Kami kelas lima berencana membuat majalah dinding sekolah. Minggu depan akan pertama kali dipajang di dinding. Itulah kenapa bangku kita selalu kotor dengan guntingan kertas dan corat-coret," ujar Jayanti sambil mengulurkan tangan, lalu merangkul Runi. "Aku enggak marah, kok, kamu bilang aku si jorok. Kulihat tulisan tangan di surat kecilmu bagus dan rapi sekali. Kamu cocok jadi redaktur membantu kami!"

"Oh, jadi...?!" Plong rasa hati Runi. Sikap Jayanti tadi seperti pemain watak dalam sinetron. Jaya pasti anak yang cerdas dan suka homor, batin Runi.

Runi tersenyum dan tidak menolak ketika diajak Jayanti ke Ruang Prakarya. Di sana, beberapa anak sedang sibuk menyiapkan majalah dinding sekolah!

Kumpulan Cerpen Dari MajalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang