CANGKIR 10. Sam

33 8 0
                                    


Berkata untuk mencintai diri sendiri adalah hal yang paling membuat Sam frustasi. Jika saja dirinya normal, mungkin perlakuan seperti ini tidak akan pernah dialaminya sejak kecil. Jika ada hal yang paling sia-sia yang bisa Sam pikirkan, pastinya terkait dengan menaruh ekspetasi terhadap orang lain. Begitu juga apa yang terjadi sekarang. Evan melukai perasaannya.

Sekarang Evan sedang duduk diluar dan segalanya terasa aneh. Kenapa orang aneh seperti Sam dipekerjakan disini? Kenapa Aldy begitu menurut kepada Angga untuk membuatnya menjadi barista... dan pertanyaan terbesar adalah... apa yang sebenarnya terjadi di café ini? kenapa dibanding membuatnya membayar ganti rugi, malah menyuruh dirinya untuk bekerja paksa disini?

Belum sampai menghabiskan satu rokok. Evan mendapati suatu aroma yang mengganggu pikirannya, yaitu aroma berwarna "merah gelap", warna yang membuat Evan gelagapan. Aroma tersebut begitu tipis hingga Evan membanting rokok dan menginjaknya untuk mendapat udara yang lebih jernih agar dapat membaui aroma tersebut. Tidak salah lagi, ada sesuatu yang terbakar di dalam.

Evan langsung masuk ke dalam café dan melihat termos pemanas air yang mengeluarkan asap hitam di dekat Sam yang masih sibuk membersihkan gula. Ia lari ke dalam bar dan mengecek termos berasap tersebut. Ternyata ketika dilihat dalamnya tidak ada air untuk direbus sehingga pemanas air membuat termos terlalu panas dan mungkin saja bisa menimbulkan konslet, bahkan kebakaran.

"LO GAK CIUM BAU BARUSAN!? TERMOS INI BISA AJA BIKIN KEBAKARAN SATU CAFÉ!!!"

Ocha benar-benar terkejut ketika menyaksikan perbuatan Evan barusan. Mungkin inilah teka-teki yang telah lama dicari Ocha, ternyata selain kelakuannya yang mirip binatang, Evan juga mempunyai penciuman setajam binatang. Ocha tersenyum puas saat mendapati dirinya ternyata seorang detektif jenius yang dilahirkan dengan begitu cantik. Ah, betapa tidak adilnya dunia ini, pikir Ocha.

Berbeda halnya dengan Sam yang merasa dirinya terselamatkan, Sam dengan rasa terimakasih yang paling dalam mencoba berterimakasih berkali-kali dengan mengatakan "Ma... makasiii Bang" berkali-kali sambil memegang lengan Evan sambl berlutut yang membuat Evan kembali kesal. Menurut Evan, laki-laki harus mempunyai harga diri dan tidak boleh berlutut didepan orang lain siapapun itu. Sikap Evan yang keras bukanlah sikap baru yang muncul karena satu kejadian. Namun sikap ini perlahan muncul akibat segala sejarah dalam kehidupannya yang tidak normal.

Evan kembali keluar ruangan dengan wajah kesal. Namun kali ini dirinya diikuti oleh Sam.

"Ba... Bang... Ja... Jangan kesal sama Sam... Ma... Maafin Bang Aldy juga..."

"Sam! Lo diem! Gue gak suka sama lo yang lemah!"

"Ma... maaf!"

"Mood gue lagi jelek! Sekali lagi lo minta maaf, gue tampar lo!"

"Ma..."

*BRUUUK*

Evan mendorong Sam hingga jatuh ke tanah, emosi telah mengendalikan sensor motorik Evan. "Gue udah peringatin lo!" dan wajah Sam terlihat berkaca-kaca saat itu. Sebelum mengomel lebih banyak lagi, terdengar teriakan wanita yang berjalan dari arah luar menuju ke dalam café. Samar-samar, Evan mengenali aroma familier yang sulit dijelaskan otaknya. Aroma tersebut tipis beranjak pekat.

"EVAN!!! LO UDAH SINTING YA?! SINI BANGUN SAM!" Ternyata dari kejauhan Theta sudah melihat kejadian tersebut dan mendorong Evan jauh dari Sam yang dibantu untuk berdiri oleh Theta.

"Ja... Jangan Kak... Sa... Sam yang salah..." kata Sam menghentikan Theta dengan menahan badan Theta yang hampir menampar balik Evan. Melihat Sam yang memohon seperti itu, Theta tidak tega melakukan perbuatan kasar tersebut di depan dirinya.

"Sa... Sam... Masuk... dulu... Ja... Jangan... Marahin Bang Evan... Sa... Sam... yang salah." kata Sam setelah menenangkan Theta dan meninggalkan Theta berdua dengan Evan.

Setelah Sam masuk, Evan yang masih terlihat kaget tiba-tiba dikagetkan dengan tamparan yang begitu keras hingga membuat dirinya sempat berhenti berfungsi untuk beberapa detik. Tangan kecil Theta ternyata jauh lebih perkasa dari yang Evan kira.

"Eh bangsat! Lo gak harus kayak gitu kan ke Sam?! Emang dia salah apa?!" setelah beberapa saat berhenti berfungsi, sambil memegang pipinya dan mengumpulkan kesadarannya Evan kembali berdiri dengan wajah emosi. Baru pertama kali ada wanita yang menampar dirinya.

"Cewek gila! Lo ngapain gampar gue segala! Lo denger kan Sam bilang apa? Bukan gue yang salah! Lo minta maaf ke gue sekarang juga!"

"Bajingan! Gue gak akan sudi minta maaf ke monster kayak lo! Asal lo tau, Sam dari dulu selalu di buli sama temen-temennya sampai di badannya banyak luka! Dan dia gak pernah marah sekalipun sama mereka. Menurut Sam, bukan mereka yang salah! Tapi Sam yang salah karena lahir dengan cacat! Lo bayangin dia hidup dengan mikir kayak gitu selama hampir 20 tahun! Lo itu Sampah yang gak punya hati!"

Theta meninggalkan Evan dengan kesal dan Evan hanya bisa terduduk merenung. Jika dipikir-pikir segalanya lancar menurut misinya yaitu berusaha dipecat dari café ini sebelum kontrak berakhir. Namun segalanya menjadi abu-abu ketika dirinya teringat apa yang diperbuatnya membuat dirinya terlihat seperti monster. Ini bukanlah dirinya.

Evan merasa muak, sangat muak hingga ingin muntah. Namun entah muak dengan siapa. Mungkin saja dengan orang-orang yang membuat dirinya terlihat seperti monster. Ataupun dengan dirinya sendiri yang tanpa disadarinya memang terdapat sosok monster. Dan sekali lagi dirinya mengalami pergulatan batin dan pergi dari café melaju entah kemana tujuannya. Hingga tidak lama kemudian setelah memutar-mutar jalan, Evan melihat sebuah café yang menarik perhatiannya. Sangat-sangat menarik perhatiannya!

Terpampang besar-besar sebuah nama fancy dengan gaya fancy yang bertuliskan St. John Coffee. Dan yang membuatnya sangat menarik adalah... Evan melihat sosok Angga berjalan masuk ke dalamnya sendirian dengan raut wajah yang tidak bisa diterka oleh Evan.

Harta, Takhta, Barista.Where stories live. Discover now