CANGKIR 12. Karisma Evan

22 7 0
                                    


Mereka berdua berhasil selamat memasuki parkiran motor apartemen. Keduanya memasuki lift dan Evan mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya untuk akses lift dan menekan tombol 7.

Hening yang hadir di dalam lift membuat Evan menyadari sesuatu hal "Ada sesuatu yang ingin gue obrolin ke lo The." Kata Evan memecah keheningan.

"Lo mau ngobrolin apa emang?"

"Lo keringin badan terus ganti baju dulu sana. Gue takut gak fokus nyari-nyari apa yang ada dibalik baju lo itu"

"Kurang ajar lo ya! Lo mau bilang kalo punya gue kecil ya!? Yang kecil juga bisa mematikan!" sambil memukul lengan Evan.

"Enggak, enggak!! Pokoknya lo bersih-bersih dulu deh. Nanti gue ke kamar lo!" Evan gelagapan.

Lift terbuka di lantai 7 dan keduanya masuk ke kamar masing-masing tanpa pembicaraan lebih lanjut. Evan membersihkan dirinya dan memakai kaos kering untuk menutupi badannya. Lalu dengan santai dia keluar dari kamar dan dua langkah berikutnya Evan membuka kamar Theta yang tidak terkunci dan seenak jidat duduk di ruang tamu kamar apartemennya.

Tanpa Theta sadari, dirinya keluar dengan sebuah handuk yang menyelimuti tubuhnya dan ketika ia berbalik badan, darahnya naik ke kepalanya dan dengan segenap urat-urat yang ada di lehernya Theta teriak "WAAAAAAAAAAAAAA!" Evan yang sedang mengamati pakaian dalam Theta sontak ikutan kaget dan ikutan teriak "OOOOOH AAAAAAAA!" setelah melempar segala jenis barang yang bisa dilempar, Theta membalas "APAAN MAKSUT LO A?! GUE B KOK!!! EH..." Evan hanya menahan ketawa ketika Theta tidak sengaja menyebutkan ukurannya sendiri. Eh, tunggu sebentar... kali ini Evan begitu yakin bahwa aroma yang dikeluarkan Theta inilah yang membuat Evan berikeras menawarkan diri untuk mengajak Theta pulang bersama. Aroma yang menarik Evan karena aromanya berubah! Kali ini Theta mengeluarkan aroma "hijau" dan belum pernah Evan menemukan orang yang dapat merubah aromanya secepat ini. Biasanya butuh berbulan-bulan agar aroma seseorang berubah.

Aroma wanita ini seakan bercerita kepada Evan. Sumber dahaga.

Setelah insiden teriak teriakan sudah selesai dan Theta sudah memakai baju yang pantas semestinya, keduanya duduk di ruang tamu Theta dan Evan ijin untuk merokok. Theta juga merokok walaupun tidak banyak, dan dia tidak masalah ada orang merokok di kamarnya asalkan kaca dibuka lebar. Sambil membakar rokoknya, Evan mulai dengan bertanya.

"Sebenernya... lo tau atau enggak kenapa gue kerja di KOPILOG?" Theta terlihat tertegun dengan pertanyaan yang tidak basa basi seperti ini.

"Gue... tau."

"Bukan itu maksut gue. tapi kenapa gue HARUS kerja disini?" Theta mulai bingung dan mengerutkan jidatnya.

"Maksut lo? Karena lo harus bayar ganti rugi kan?"

"Bukan, bukan itu. Kalau bayar gue bisa pake duit gue, gue gak kekurangan. Oke gue ganti pertanyaannya. Apa hubungan Angga dan Vino? Lo tau Vino kan?"

"Vino..." Theta Nampak berpikir. "OOOH, Vino pemilik St. John?"

"Iya! Hubungan mereka tuh apa?!"

"Gue gak banyak tau sih, tapi setau gue... Vino itu barista terkenal, banyak banget orang yang ingin belajar dari dia untuk menjadi barista. Dan setau gue, Vino itu saingan Angga."

"Hah? Angga juga barista?"

"Lo itu emang dangkal ya otaknya? Semua barista di Bandung kenal Angga. Dia 2 kali juara barista dan latte art. Walaupun..."

"Walaupun apa?!"

"Walaupun nama dia sekarang jadi jelek di mata orang lain. waktu itu entah dengan alasan apa Angga mulai kecanduan alcohol dan akibatnya tangan Angga tremor sebelum kompetisi terakhirnya dimulai. Dan saking ingin menangnya, dia berbuat curang dan di diskualifikasi. Setelah di diskualifikasi, dia bener-bener kesel dan mukul-mukul tembok supaya tangannya berhenti tremor, bukannya berhenti tremor tapi tangannya malah bermasalah dan mati rasa sehingga dia pensiun menjadi barista dan memutuskan untuk membuka café sendiri" Evan kembali menyusun segala puzzle yang masih berantakan di otaknya. Puzzle tersebut gagal tersusun karena masih terlalu banyak celah.

"Hmm..." Evan bergumam kecil menandakan dirinya sedang larut dalam pemikiran sendiri. "dan menurut lo. kenapa KOPILOG mencoba keras untuk melatih gue? apakah ada sesuatu yang gue gak tau?"

Intuisi Evan begitu kuat hingga membuat Theta terkejut. Benar, ada sesuatu yang belum diketahui Evan. Dan sebenarnya Theta pun tidak mengetahui kenapa harus Evan yang dipilih. "Kita punya suatu budaya disini. Budaya pertandingan." Tenggorokannya tersendat untuk beberapa saat. "Dan kita butuh tambahan orang."

Wajah Evan menampakkan kekecewaan terhadap jawaban Theta. Untuk informasi yang barusan, Evan sudah mengetahuinya lewat penyamaran apiknya tempo hari. Evan butuh mengetahui mengapa dirinya yang dipilih dari sekian banyak orang untuk menjadi bagian dari KOPILOG dengan kondisi dirinya yang bahkan belum pernah mempelajari kopi sebelumnya. "Gue butuh tau kenapa gue dijadikan kartu As!"

Reaksi berikutnya yang dikeluarkan Theta lagi-lagi membuat Evan pusing kepalang. Bukannya menjawab pertanyaan Evan, tapi Theta malah terkejut lalu tertawa terbahak-bahak setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Evan tersebut. "Gue baru pernah mendengar hal seperti ini!" lalu lanjut tertawa dengan membabi buta.

Wanita ini begitu menyebalkan untuk beberapa saat, tapi entah mengapa reaksi dari Theta membuat dada Evan naik turun dengan cepat. Aromanya sekali lagi berubah ketika Ia tertawa, hijau menjadi kuning. Dan bukan sembarang kuning, kuning ini terasa sangat hangat seperti matahari dan terasa begitu rileks seperti kebun bunga. Pikiran Evan buyar, hasratnya mengambil alih. Pandangannya melekat tidak berkedip ketika melihat tawa Theta.

Hal berikutnya yang dilakukan Evan benar-benar tidak bisa dinalar. Ia memajukan wajahnya mendekat ke wajah Theta. Menyadari tindakan Evan, Theta langsung berhenti tertawa. Kali ini dada Theta yang bergerak naik turun. Apakah Evan hanyalah orang mesum yang mempunyai modus untuk memasuki kamarnya? Ataukah Ia sebenarnya adalah psikopat yang sedang melaksanakan tugasnya? Gawat! Hobi menonton serial dokumenter penjahat ternyata membuat Theta terus mempunyai pikiran negatif. Apalagi deskripsi Evan mirip dengan tontonan favoritnya, Ted Bundy! Seorang pembunuh kejam dan keji yang bertopengkan ketampanan dan karisma.

Eh tunggu dulu! kenapa tiba-tiba Theta berpikir bahwa Evan tampan dan berkarisma? Sejak kapan Ia memikirkan hal bodoh tersebut? Evan hanyalah laki-laki bodoh yang kasar dan tidak tau diri! Kelakuannya di dalam bar dan perbuatannya kepada Sam sudah cukup untuk membuat Theta memandang Evan serendah mungkin. Tapi kali ini... kenapa kali ini Theta tidak langsung menamparnya dan mengusirnya ketika Evan mencoba menciumnya?

Evan tersenyum ketika mendapati Theta yang sedang memejamkan mata seakan pasrah dengan keadaan. Kondisi seperti ini sering kali dijumpai oleh Evan. Ia hanya ingin mencoba membaui aroma tubuh seseorang lebih dekat pada bagian lehernya. Menurut Evan, bagian leher tersebut lah yang memiliki aroma paling jujur. Namun setiap kali mencoba hal seperti ini, banyak wanita yang salah kaprah dan mengira Evan mencoba menciumnya. Seperti Theta sekarang.

Untuk beberapa saat, Evan hanya memandangi wajah Theta yang sedang memejamkan mata. Ia ingin menikmati momen menggemaskan seperti ini sebentar lagi. Beberapa detik berlalu dan tidak ada reaksi apapun dari keduanya. Bahkan sekarang Theta sedang berpikir bahwa Evan sedang mengeluarkan pisau lipat dari sakunya untuk menggorok leher Theta. Mata yang tadinya terpejam untuk menikmat berubah menjadi pejaman mata yang terkesan membayangkan kematian.

Raut wajah Theta begitu menggoda kali ini. Jika Evan mau, pasti Ia sudah mencium Theta dari tadi. Namun prinsipnya berkata lain, ia tidak ingin membuat keadaan diantara mereka menjadi canggung untuk kedepannya. Alhasil, Ia mendapatkan ide brilliant lain.

Tangan kanannya membentuk sebuah moncong dengan mempertemukan kelima ujung jarinya. Lalu dengan hati-hati, ujung jari tersebut didekatkan ke bibir Theta dan dengan sekali nafas, Evan membuat suara seperti orang yang sedang mencium "MUACH" dan berhasil membangunkan Theta dari mimpi absurdnya tersebut. "BANGUN WOI! BELUM SAATNYA BIBIR KITA SALING MELUMAT!" teriak Evan dan dilanjutkan dengan tawa menggelegar.

Wajah Theta merah bukan main, lalu sejurus kemudian tamparan mendarat kepada pipi Evan dan sekali lagi otaknya membeku. Kupingnya berdengung. Sepertinya ada pendarahan pada otak Evan. Bayangkan, dalam satu hari yang sama Ia sudah mendapatkan 2 tamparan keras pada wajahnya secara harafiah. Detik itu juga, Evan akan berpikir serratus kali jika ingin mengerjai Theta lagi. Secara fisik dan emosional, Evan mendapatkan trauma berat.

Satu menit kemudian Evan sudah ditemukan sedang berbaring sambil memegang pipinya sendiri pada kamarnya.

Tidak lama setelah tamparan tersebut, Theta mengusirnya keluar dengan segala tenaganya. Evan pasrah. 

Harta, Takhta, Barista.Where stories live. Discover now