Pagi itu Angga Aditya berjalan masuk ke sebuah café yang berada tidak jauh dari café yang dikelolanya. Bertuliskan di atas atap dengan tulisan sebesar mata memandang. "St. John Coffee" dan dibawahnya terlihat tulisan tambahan berupa "Speciality Coffee".
Setelah memasuki café tersebut. Angga ternyata sudah ditunggu oleh salah satu laki-laki seumuran Angga. Evan yang dari tadi mengikuti langkah Angga dengan hati-hati, mengambil sebuah kursi yang tidak terlalu jauh namun tidak terlalu dekat dengan kedua orang tersebut, kursi yang hanya cukup dekat untuk mencuri dengar tanpa terlihat oleh keduanya.
Evan mengambil sebuah menu besar dan berpura-pura membacanya sambil memakai topi dan kacamata agar penampilannya tidak dikenali. Sekejab kemudian dia dikageti oleh seorang server dengan berkata "bisa saya bantu orderannya kak? Hari ini special menu kita ada lemonade breeze. Yaitu..." tidak mau terbongkar identitasnya, Evan tanpa pikir panjang membalasnya dengan "Iya yang itu mbak, saya pesan itu. Mbaknya boleh pergi!" lalu lanjut mengamati meja Angga dengan laki-laki tersebut. sayangnya, Evan tidak dapat mencium aroma dari orang tersebut karena aroma kopi yang terlalu kental disekitarnya.
"Angga Angga Angga... lo mungkin emang punya nama dulu. Tapi lo sekarang cuma fossil berjalan!" kata lelaki tersebut dengan sombong. Angga aliran darah di muka Angga nampak tidak berubah, bahkan bisa dibilang Angga menanggapi perkataan sombong tersebut dengan santai.
"Mau lo apa Vino? Belom cukup lo bikin gue kayak gini?"
"Kita udah kenal dari lama Ngga. Jangan kira gue gak tau rencana lo!"
"HAHA, Vino... Vino... orang yang dulu pernah mengemis ke gue sekarang udah berani ngomong ke gue dengan nada begini sombongnya."
"Gue ingetin. Tujuan gue masih sama kayak dulu. Dan jangan kira saat tangan lo udah cacat begitu lo bisa hilang begitu aja Ngga!"
"Gue gak suka basa-basi, lo sebutin maksut lo manggil gue kesini!" lalu Vino terdiam sebentar dan muncul sebuah senyuman dari bibirnya.
"2 minggu lagi, anak baru gue yang gue datengin dari Aussie bakalan berkunjung ke tempat lo bareng sama yang lainnya. Gue akan bikin semangat lo hilang sebelum bertanding."
"Anak baru itu maksutnya Phillip? Bocah ingusan gaktau diri yang ngikutin jejak lo?"
"Dan bocah ingusan itu baru aja menang kompetisi nasional di Aussie, dan dia gue bawa kesini buat ancurin lo!"
Angga hanya diam dirinya berpikir sejenak lalu entah mengapa mulai tersenyum "bukannya gue pengen ancurin hari indah lo ini, tapi gue peringatin. Gue juga mulai ngumpulin kartu As gue. Gue baru aja kejatuhan duren dengan satu anak baru yang sudah lama gue incar."
Evan kaget mendengar Angga berkata seperti itu. Otaknya dengan cepat menyadari bahwa dirinya sedang dibawa-bawa dalam percakapan kedua orang itu. Apalagi ketika dia mendapati bahwa dirinya merupakan kartu As dan sudah lama diincar oleh Angga. Memangnya apa kelebihan dari seorang Evan yang selalu membuat onar dan belum pernah bekerja sebagai barista sebelumnya?
Server datang membawakan minuman yang Evan pesan dan tanpa Ia sadari Angga sudah pergi meninggalkan lawan bicaranya. Evan terdiam tertegun setelah sekali lagi dikejutkan oleh peristiwa aneh di sekitarnya.
Sambil berpikir keras, Evan mencoba minuman tersebut dan seketika Ia menyadari sesuatu. Minuman ini begitu enak dan segar, tanpa banyak bertanya Evan mengerti bahwa minuman tersebut bukanlah minuman sembarangan dan mempunyai impressi kuat bahwa tidak adanya cacat dalam proses pembuatannya. Hidung dan lidahnya yang sensitive mendapati setidaknya ada 3 sampai 4 tambahan komposisi yang terasa elegant dan harmoni. Warna hijau, kuning, abu, dan coklat mengisi pikiran Evan sebagai hasil deskripsi aroma tersebut, jika warna tersebut dicampur, yang terjadi adalah bisikan halus dari malaikat. Dan lidahnya mendapati sebuah daun mint, ekstraksi lemon, tonic water, dan rum. Tanda besar yang bertuliskan "Specialty coffee" terasa tidak dibesar-besarkan.
Setelah kembali sadar dari lamunannya. Evan mengamati wajah Vino yang sekiranya tidak asing di benaknya. Entah darimana ia melihat wajah tersebut yang kini memasang raut wajah kesal seakan-akan dirinya telah dikalahkan. Setelah diingat-ingat lagi, ternyata wajah Angga juga tidak asing di benak Evan ketika mereka berdua duduk bersama. Evan berpikir, berpikir, dan berpikir namun tidak bisa mengambil kesimpulan dari memorinya. Hanya saja di lidahnya terdapat suatu rasa yang mengganjal, aroma tersebut pernah ditemuinya ketika suhu yang digunakan tidak sefrekuensi dengan profil biji kopi. Sebuah aroma gosong yang begitu tipis yang tidak akan dirasakan hidung orang lain. Ah, sayang sekali.
Evan keluar dari café tersebut selepas sudah tidak ada lagi hal menarik yang bisa ia lakukan. Setelah membayar, Ia keluar dan ternyata langit sudah gelap. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat hari ini, mulai dari dirinya yang mencoba dan berhasil untuk dibenci oleh semua orang, dan segala misteri yang disimpan Angga selama ini.
Setelah keluar, Evan kembali menyalakan motornya dan melepas segala atribut tidak penting yang digunakan dirinya untuk menyamar. Motor melaju pelan dan hujan mulai turun sedikit demi sedikit. Sebelum melaju lebih jauh, Evan mendapati sosok Theta yang baru saja menyelesaikan shift dan sedang menunggu angkutan umum untuk pulang. Aromanya memanggil halus.
Detik itu Evan tampak berpikir panjang, namun aroma petricor yang mulai menutupi aroma lainnya membuat Evan meragu dan bertindak. Evan menghampiri sosok perempuan tersebut yang berhasil membuat Evan penasaran pada pertemuan pertamanya.
"The, udah mulai ujan. Gue anterin lo aja, kamar kita depanan!"
"gue belom maafin lo!" sambil menutupi kepalanya dengan tas.
"Gue tau, gue juga gak suka lo nampar gue! tapi ada yang harus gue tanyain sama lo! Buruan ah udah mau lebat hujannya!"
"Gak usah modus lo! Sana pergi aja!" lalu hujan turun dengan lebih kencang.
"Yauda oke gue minta maaf! Gue gak bermaksud jahat sama Sam! Aduh buruan deh itu pakean lo udah jiplak gitu kebasahan! Ini jaket gue tahan air pake aja!"
Theta langsung menutupi bagian dadanya dan menyambar jaket Evan, permintaan maaf tersebut cukup ampuh untuk meluluhkan ego Theta. Tanpa berkata lebih lanjut dirinya sudah naik ke atas motor Evan sambil bergumam "dasar monster mesum!" belum berganti hari, Evan sudah menambah julukan buruk untuk dirinya sendiri. Yaitu monster dan mesum. Luar biasa.
Diluar semua cibiran yang didapat, Evan tersenyum tanpa disadarinya. Tanpa tujuan yang jelas, garis waktu mempertemukan Evan terhadap sumber dahaganya.
Theta adalah sumber dahaganya.
YOU ARE READING
Harta, Takhta, Barista.
Novela JuvenilEvan Fernando, seorang mahasiswa abadi dan pengidap sinestesia yang dapat mencium aroma sebagai warna, terpaksa menjadi barista karena kelakuannya sendiri. Di dalam timnya terdapat berbagai orang aneh mulai dari Aldy yang terlalu overprotektif terh...