Evan dengan sikap gentlenya menarik kursi agar Felice dapat duduk, setelahnya dia duduk di sebelah Felice yang sudah tampil tanpa jaketnya yang membuat Evan menjadi bersemangat.
"Jadi... lo sering kesini Lice?" tanya Evan sambil meminum latte hot yang ia bikin. Dirinya kaget dengan suhu yang berlebihan hasil tangannya sendiri. Felice tidak kaget.
"Iya, gue sering main kesini buat ngobrol juga sama Djulian. Gimana menurut lo kopi disini?" pancing Felice untuk mengorek informasi lebih dalam. Felice berharap dengan trik andalannya yaitu membuka jaket, akan membuat Evan berkata banyak.
"Enak kok enak. Itu buatan gue gimana Lice? Itu cobain dong V60 buatan gue, special buat lo!" Felice mencobanya dan segala tebakannya benar. Rasanya watery, notes yang dikeluarkan hanya sedikit, dan aromanya begitu tipis hingga hampir tidak tercium. Kopi tergagal yang pernah Felice minum. Apalagi kopi ini diseduh oleh barista yang disebut sebagai kartu As dari café saingannya.
"Ini beneran harus gue komentarin Van?" tanya Felice dengan sopan.
"HAHA, jangan deh... mental gue belum siap." Kata Evan sambil meniup kopinya yang terlalu panas.
"Eh, Eh, certain gue dong tentang lo dan KOPILOG!"
"Hmm... lo tau bos gue kan? Gue denger-denger dia pernah bunuh orang dan mayatnya ditaro didalam adukan semen ketika KOPILOG lagi dibangun! Dan dia berhasil lolos dari polisi karena bokapnya kepala polisi di bandung!" kata Evan ngasal dengan kondisi masih meniup kopinya. Felice begitu kesal melihat jawaban Evan yang kekanak-kanakan.
"Ha Ha Ha..." dirinya tertawa renyah "iya kayanya gue pernah denger. Tapi kenapa udah tau bos lo serem kayak gitu, lo masih mau kerja disana?"
"Ya mau gimana lagi? Semua orang udah tau kali kalau gue barista paling berbakat disana. Lo pernah denger gak kalau gue kartu As mereka!!!" Oh oke ini dia! Ini informasi yang dibutuhkan Felice!!! Aliran wajah muka Felice berubah menjadi bersemangat dengan mata berbinar-binar.
"Belum pernah denger tuh! Coba dong lo cerita!" Felice berbohong. Tapi entah dia tau darimana Evan adalah kartu As.
"Duh, gue tuh sebenernya introvert. Gue gak bakal bisa cerita sebelum orang lain cerita. Coba dong certain dulu St. John kayak gimana... pasti keren deh kalau kerja disana." Pinta Evan. Felice yang begitu menginginkan informasi dari Evan yang sedang tidak waspada, menganggap bahwa permintaan Evan cukup adil dan mulai bercerita.
"St. John ya... Hmmm gue tuh baru kerja disini sekitar 4 bulan yang lalu setelah pulang dari Australia. Gue langsung ditawarin kesini gara-gara pengalaman gue disana. Kalau Arry, setau gue dia pernah kerja di KOPILOG juga, sama-sama head bar kayak Aldy." Hah? Arry pernah bekerja di KOPILOG sebelumnya? Apalagi dirinya sama-sama head bar seperti Aldy. Hal yang sudah menjadi rahasia umum menjadi informasi baru untuk Evan.
"Terus-terus." Kata Evan sambil menyalakan rokoknya. "Eh, mau rokok?" tawar Evan kepada Felice yang menyambutnya dengan senang hati. Setelah keduanya merokok bersama, Felice lanjut cerita.
"Arry itu dulu saingannya Aldy, tapi dia sekarang lebih ke ngatur keuangan di St. John dan proses rekrutmennya karena Bos kita menganggap Aldy lebih berbakat disana. Kalau Nino, dia udah punya banyak pengalaman nge-bar dimana-mana. Dia jago banget mixology (skill untuk mencampur berbagai macam bahan sehingga menjadi minuman), kadang juga Nino disuruh bikin menu baru sama si Bos. Kalau sebagai barista, dia tau semua basic tapi ga ada yang menonjol dari skillnya." Evan masih menyimak sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Menurut lo, diantara lo bertiga siapa yang paling handal Lice? Pasti elo ya! Lo kan dari Australia HAHAHA." Tanya Evan dengan wajah ceria dan mata yang melihatnya lekat-lekat. Gelagatnya ini selalu dapat membuat cewek-cewek mulai bercerita panjang lebar ketika melihat senyum tulus yang seperti anak kecil bersemangat begitu. Walaupun bandel setengah mati, tapi Evan sering membaca buku tentang komunikasi dengan tujuan merayu wanita. Dan hasilnya selalu sangat memuaskan.
"Eh. Eh... bentar gue mikir dulu. Kalau gue lawan Nino, gue yakin gue bisa menang dengan mudah kalau di dunia kopi karena dia jagonya mixology. Kalau Arry, dia sebenernya mulai malas-malasan latian ketika Bos suruh dia bantu di keuangan. Teorinya sih banyak banget, kerjanya juga rapih. Tapi dengan hidung gue dan lidah gue yang sensitive, harusnya gue yang sekarang jauh diatas dia."
"Wow! Emang hidung dan lidah lo se sensitive apa?"
"Awalnya emang biasa aja sih. Tapi di Australia gue latihan keras untuk ngafalin segala jenis rasa. Gue ambil sertifikasi barista disana soalnya. Bayangin aja! gue harus hafalin 100 wangi-wangian dan rasa. Siksa-paksa-terbiasa sih gue." Awalnya Evan memang menganggap Felice sebagai orang yang punya indra tajam seperti dirinya sejak lahir. Ternyata hidung dan lidah tersebut lahir melalui kerja kerasnya di Australia.
"Wah berarti lo yang paling jago dong ya? Gila-gila keren banget lo!"
"Eh, Eh... gak gitu. Kalau Phillip dateng, gue yakin dia orangnya!" bantah Felice.
"Phillip? Yang mana ya?"
"Dia baru bakal dateng minggu depan. Dia juga dari Australia kayak gue, bedanya dengan gue tuh... dia... selalu dianggap jenius disana. Lidah dan hidungnya peka dari lahir gak kayak gue yang hasil latihan. Nilai sertifikasi dia sempurna. Mixologynya gak kaleng-kaleng, dan latte art dia kelas atas. Bahkan dia pernah juara barista di Australia. Dia bener-bener... Jenius." Jelas Felice. Evan yang mendengarnya sedang mencoba berpikir keras, entah apa yang dipikirkannya.
"Jadi... kenapa lo jadi kartu As di KOPILOG tadi Van? Gue udah cerita, sekarang giliran lo." Evan kembali menghisap batang keduanya dalam-dalam dan memasang raut wajah yang begitu serius hingga membuat Felice merasa terintimidasi.
"Gue harap lo gak bocorin informasi ini. gue percaya sama lo Lice..." Felice menelan ludah. Feelingnya mengatakan bahwa Evan memang menutupi sesuatu.
"Ini baru spekulasi gue doang Lice... tapi menurut yang gue dengar, Angga memilih gue jadi kartu As dia... karena..." Evan berhenti sejenak. Lagi-lagi menghisap rokoknya dalam-dalam. Suasana begitu sepi sehingga menambah kesan dramatis untuk Felice.
"Karena... "
"KARENA APA VAN?" teriak Felice yang sudah tidak sabar.
"Eh rileks dong rileks. Tuh kan seperti yang gue duga, mental lo belum siap!" kata Evan. Felice mencoba untuk lebih tenang dan menyondongkan tubuhnya ke depan untuk mendengarkan Evan. Kaos yang kebesaran membuat belahan dadanya tidak sengaja terlihat oleh Evan. Lagi-lagi Evan berteriak kesenangan dalam hati.

YOU ARE READING
Harta, Takhta, Barista.
Teen FictionEvan Fernando, seorang mahasiswa abadi dan pengidap sinestesia yang dapat mencium aroma sebagai warna, terpaksa menjadi barista karena kelakuannya sendiri. Di dalam timnya terdapat berbagai orang aneh mulai dari Aldy yang terlalu overprotektif terh...