DRRRRT!!!
Sebuah pesan whatsaap masuk ke dalam hape Evan secara bertubi-tubi pada salah satu grup yang berisikan dirinya, Gege, Dika, dan Bule.
Gege: "VAN LO DIMANA SEKARANG?"
Dika: "kita gak maksud ninggalin lo Van!"
Gege: "Gila lo Dik, berani ngomong kayak gitu abis maksa ninggalin Evan"
Bule: "tau lo Dik! Kenapa tiba-tiba lo jadi aneh gitu sih!"
Dika: "gue panik! Lagian lo semua juga gak ada yang protes waktu gue langsung cabut setelah ngeliat tuh pemilik café terbang macem orang bener ke arah Evan!"
Masih banyak pesan yang belum dibaca Evan, namun menurutnya hari ini sudah terlalu panjang untuk ditambah membaca pesan omong kosong dari ketiga sahabat yang sudah meninggalkan dirinya. Evan pun menutup hape nya dan berbaring kelelahan sambil membayangkan apa saja yang barusan Ia lewati hari ini.
DRRRTTT!!!
Tiba-tiba Evan mendapati lagi sebuah pesan masuk dengan nomor tidak dikenal yang berisikan
+628777539XXXX: "Gue tunggu batang hidung lo jam 8 di KOPILOG! – Angga"
Orang ini sungguh misterius pikir Evan. Bagaimana cara Ia mendapatkan nomor telfon Evan beberapa menit setelah kejadian ini? Namun, sekali lagi Evan terlalu lelah untuk membalas pesan tersebut dan berakhir dengan tidur setelah memasang alarm jam 7 pagi.
Alarm masih berbunyi, dan kamu adalah barista. Sebuah profesi yang tidak akan membuatmu mundur ketika plan A tidak berjalan. Sebuah profesi yang mengandung sebuah hasrat dalam terhadap rasa, aroma, proses, dan biji kopi. Kepalamu masih menolak utuk berfungsi pada pagi hari, dan Kasur dengan selimut hangat terus menarikmu dalam agar kamu tidak meninggkalkannya.
Namun kamu tau, jika kamu tidak segera beranjak pergi dari situ, dirimu akan berhadapan dengan sosok Angga Aditya yang menyebalkan dan penuh teka-teki. Entah perbuatan apa lagi yang sanggup dilakukan oleh Angga terhadap dirinya setelah ia melihat bahwa Angga dapat mencari nomor telfonnya secepat itu ditambah segala keanehan dalam dirinya.
Evan terkejut setelah memikirkan hal tersebut dengan kondisi alarm masih menyala. Adrenalinnya bergejolak setelah melihat jam menunjukkan pukul 7.10, dan Ia langsung loncat dari kasurnya untuk bersiap-siap pergi ke KOPILOG.
Jalanan tengah kota bandung memang selalu seperti ini, kemacetan dengan tambahan detik lampu merah yang lebih lama dibanding lampu hijaunya membuat Evan datang ke KOPILOG pada pukul 8.20 pagi dengan setelan jeans robek, kaos, dan sendal jepit swallownya yang khas. Setelan dia kalau pergi ke kampus.
Evan masih bingung apakah Ia harus masuk ke dalam atau menunggu di luar sembari mengirim pesan untuk Angga yang menyatakan bahwa dirinya sudah sampai di lokasi. Kebimbangan Evan musnah hasil kejutan dari seseorang sok kenal yang berani menyodok bagian belakang dengkulnya sehingga ia jatuh berlutut di depan café tersebut.
"Lo telat 20 menit. Lo kerja pakai sendal. Rambut lo gak rapih. Dan muka lo nyebelin. Hari ini lo dapet kartu kuning dari gue. Sampai lo dapet kartu merah, berarti lo resmi dapet SP 1, dan sampai lo SP 3, lo akan gue pecat dari sini!"
Ya... sosok tersebut adalah Angga Aditya yang terlihat menggaruk-garuk perutnya sambil merokok. Kali ini aromanya berbeda. Angga mempunyai kesan "orange", sebuah warna yang mengingatkan Evan akan masa-masa dirinya bermalasan dengan ketiga temannya yang lain. Mencium aroma tubuh seseorang dan mendeskripsikannya sebagai warna merupakan kemampuan Evan yang sampai sekarang juga tidak dimengertinya. Tanyakan sejak kapan Ia mempelajari kemampuan tersebut, dan niscaya jawaban Evan akan selalu sama "semenjak dirinya sadar bahwa dirinya dapat berbicara, berjalan, melihat, mendengar, dan merasa" tidak ada yang tau kapan tepatnya diri kita sendiri tersadar bahwa kita bisa melakukan semua itu. Kemampuan hidung Evan berada pada batas tipis antara lahiriah dan batiniah.
Evan mencoba untuk kembali berdiri. Dan dengan wajah yang memerah, Evan hendak mengeluarkan kata kasar ke depan wajah Angga yang sudah berhasil membuat dirinya berlutut. Namun sosok Angga hari ini terlihat cuek dan langsung masuk meninggalkan Evan ke dalam café sebelum Evan berhasil menghujat tepat di depan wajahnya. Dan tanpa disadarinya sosok menyebalkal tersebut berhasil membuat Evan mengikuti jejaknya ke dalam café seperti anak ayam yang kebingungan.
Ini pertama kalinya Evan menyaksikan langsung dinamika café ini dengan kondisi beroperasi. Suasana di dalamnya terkesan sepi namun produktif. Jika diperhatikan, kita akan melihat empat orang yang sedang bekerja giat tanpa suara seakan mereka sudah terbiasa melakukan rutinitas seperti ini setiap harinya. Dan anehnya, seluruh peralatan terlihat lengkap mengingat kemarin Evan baru saja merusak mesin espresso dan grinder yang ada. Bahkan kedua alat yang ada tersebut terlihat lebih mewah dan lebih besar dari pada alat yang dirusak Evan.
Café yang bernamakan KOPILOG ini mempunyai 3 jenis ruangan bersekat. Ruangan dalam, ruangan luar dengan atap, dan ruangan luar lainnya tanpa atap. Lalu jika diperhatikan dengan saksama, terdapat jendela yang bisa dibuka tutup yang menghubungkan bar dengan bagian belakang yang diperkiraan adalah dapur. Dan dibalik jendela tersebutlah Evan mengingat sosok baju yang tergantung yang awalnya dikira sebagai sosok manusia padahal bukan.
Terdapat aroma yang kontras pada bagian dalam dan bagian luar ruangan. Aroma kopi yang sedang dihaluskan menjalankan tugasnya dengan baik dengan merangsang otak Evan yang langsung terlihat segar, sedangkan pada bagian luar tercium bau petricor yang dihasilkan oleh interaksi hujan dan tanah. Namun ada salah satu aroma yang bersembunyi dan membuat Evan penasaran. Aroma "merah pudar" tropical yang muncul samar-samar, aroma yang mengingatkannya tentang sesuatu hal yang berasal dari masa lalu.
Evan mencari-cari sumber aroma tersebut. Ia melihat-lihat ke sekeliling namun tidak mendapati sumbernya. Gagal mencari sumber tersebut, Ia malah mendapati tiga orang disekitarnya yang merupakan 1 laki-laki dan 2 wanita dengan tugasnya masing-masing. Di bagian bar terdapat satu sosok wanita yang sedang fokus menyiapkan segala alat dan mencoba meracik beberapa cangkir kopi dengan metode yang hanya pernah dilihat Evan namun tidak dimengertinya.
Pada satu meja kosong terlihat sosok pria yang sedang melipat tissue dan membersihkan peralatan makan yang ada. Dan sosok wanita terakhir terlihat sibuk menyapu dan mengelap semua meja dari yang berada di dalam hingga berada di luar café. Menurut Evan, ketiga orang tersebut berumur tidak jauh dari dirinya.
Setelah selesai memperhatikan semua orang yang terlihat, tiba-tiba dari belakang Evan pintu terbuka dan muncul lagi sebuah sosok laki-laki seumuran Evan yang datang menggunakan hoodie hitam, sepatu vans, dan tas totebag. Ketika masuk, sosok tersebut menyapa Angga yang berdiri di sebelah Evan dan tanpa melihat mata Evan, laki-laki tersebut langsung masuk ke dalam bar mengambil alih pekerjaan wanita yang berada disana sebelumnya.
Evan yang tidak terbiasa diacuhkan entah mengapa lagi-lagi dibuat kesal oleh laki-laki yang baru masuk tersebut dan instingnya langsung menandai laki-laki tersebut sebagai musuh baru yang dibencinya. Ditambah lagi, laki-laki tersebut memiliki aroma "ungu" yang selalu dibenci oleh Evan karena biasanya orang yang seperti ini jarang ditemui dan sulit dihadapi.
YOU ARE READING
Harta, Takhta, Barista.
Teen FictionEvan Fernando, seorang mahasiswa abadi dan pengidap sinestesia yang dapat mencium aroma sebagai warna, terpaksa menjadi barista karena kelakuannya sendiri. Di dalam timnya terdapat berbagai orang aneh mulai dari Aldy yang terlalu overprotektif terh...