17

319 39 3
                                    

Rachel mengelap mukanya yang basah dengan handuk sembari menatap dirinya sendiri di depan cerminnya.

Kak Je sudah tau.

Meski hanya sebatas tau bahwa ia cutting.

Setelah kejadian tersebut, ia hanya meminta Je untuk tidak mengatakan pada siapapun bahkan Bian sekalipun. Ia bahkan rela memohon untuk pertama kalinya pada Je dimana biasanya mereka hanya saling melempar canda tentang kekasih keduanya.

Bahkan saat Bian datang saat itu mereka hanya diam seakan tidak saling sadar bahwa berada di ruangan yang sama.

Sudah beberapa hari sejak kejadian tersebut, Rachel masih sesekali bertemu Bian bahkan Je. Rachel sedikit bersyukur Je bahkan tidak berbicara apapun.

Tapi Rachel tetap merasa berbeda.

Je tidak memperlakukannya berbeda tapi Rachel merasa takut.

Ia takut Je menganggapnya gila dan bisa jadi suatu saat mengatakan kegilaannya kepada Bian.

Ya, Rachel merasa gila.

Rachel menatap remeh pantulan dirinya sendiri.

"Gila, orang gila bego darimana sih gue?"tanya Rachel pelan,

Rachel memutus kontak dengan bayangannya di kaca ketika ia merasakan HPnya berdering di sakunya.

Rachel meneguk ludahnya sulit ketika tertera nama ibunya disana. Rachel mengangkatnya sembari tak lupa mengucapkan salam untuk sang ibu.

"Sudah makan?"

Rachel mengerutkan kening, "Belum mah, kenapa?"

"Kenapa belum?"

"Kayanya Ilonia mau diet udah gendut banget ini."

"Gendut apanya sih. Pola pikir kamu tuh aneh aneh banget."

"Mah, Ilonia insecure sama badan sama muka Rachel sendiri."

"Lah ngapain insecure? Ngapain juga insecure kaya gituan?"

"Mah, aku juga gak tau. Oke? Aku cuma berusaha cerita sama mamah. Aku sempet nangis karena ngelihat diriku sendiri."

"Kamu tau gak kalo itu tuh penyakit?! Ngapain juga kaya kamu kaya gitu. Makanya pola pikir tuh dijaga. Ngapain pikir hal kaya gitu ketika kamu bisa mikir hal yang lain. Pikirin tuh cara biar sukses. Deketin diri ke Tuhan. Mamah bahkan gatau kamu berapa kali ke gereja."

Rachel merasakan air matanya menetes mendengar ceramahan sang ibu.

"Kamu harusnya–"

"Mamah pikir aku mau kaya gini?"tanya Rachel pelan,

"Mah, aku gak mau kaya gini juga mah. Aku bahkan muak kenapa aku ngerasa kaya gini. Mamah harusnya dukung aku, support aku. Aku bisa ngerasain gak baik baik saja."tutur Rachel menahan isakannya,

"Gereja? Aku berdoa sama Tuhan mah. Aku punya Tuhan aku tau. Aku sudah berdoa tapi aku tetep overthink dan ini bener bener sakit mah. Aku juga bisa capek mikirin hal lain. Mamah seharusnya tau kalo aku bisa gak baik baik aja sama insecurityku sendiri."

"Ilonia"

"Eh enggak."ujar Rachel pelan, "Aku lebih dari insecure."

"Maksud kamu apa?"

"Maaf mah, tapi tanpa mamah nuntut aku jadi sempurna. Aku bahkan sudah hancur bahkan sebelum aku mulai berjalan."

"Ya, mamah juga makin hancur waktu tau adek dibully."

Quiet SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang