21

345 45 2
                                    

Lia dan Jose membuka pintu kamar Rachel setelah 6Days izin pulang. Sesungguhnya mereka merasakan ketidak beresan ketika raut wajah Bian bahkan nampak suram setelah keluar dari ruangan.

Saat ini, Rachel nampak tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan menerawang. Matanya sedikit memerah seperti habis menangis.

"Chel.."

"Gue putus sama Bian, Li."

Lia dan Jose saling menatap kaget. Mereka tau mungkin ini akan terjadi namun tak menyangka terjadi secepat itu.

"Gue sebenernya udah mutusin ini semua kalo emang gue selamat lagi dari percobaan bunuh diri gue."ujar Rachel pelan,

"Chel,"ujar Lia pelan, "lo baru siuman, lo ga salah ambil keputusan, kan?"

Rachel menoleh, "Gue udah siuman dari kemaren malem, Li. Gue lihat Bian jagain gue semalem. Gue cuma gak mau bikin heboh dini hari. Gue juga tau mamah lo nyuruh Bian balik juga."

Lia dan Jose melotot, "Gak ada yang tau lo udah bangun?!"

Rachel tersenyum kecil lalu menggeleng pelan.

"Pinter banget ya akting lo!"pekik Lia, "Gak tau apa lo gue khawatir setengah mampus sampe mau jengukin lo dulu tapi gue udah telat."

Rachel terkekeh sedangkan Jose hanya memukul pelan kepala Lia. Lia meninju lengan Jose sebal.

"Apasih."

"Rumah sakit, bego. Sadar diri lo toa."

Rachel mau tidak mau tersenyum. Setidaknya patah hatinya sedikit terobati dengan tingkah konyol sahabatnya.

"Mamah lo bilang ke gue soal terapi."ujar Rachel pelan,

"Lo gak harus-"

"Gue mau,"ujar Rachel, "gue mau terapi. Makasih buat mamah lo, gue makin yakin mutusin Kak Bian."

"Alasan lo mutusin Kak Bian karena terapi?!"tanya Lia terkejut,

"Enggak!"ujar Rachel, "ada hal yang lebih yang membuat gue mutusin Kak Bian."

"Why?"tanya Jose, "Lo sayang kan sama dia?"

Rachel mengangguk, "Gue cinta sama Kak Bian tapi sesuatu yang terlalu mengikat juga lama-lama bikin menderita."

Lia menaikkan alis, "Kenapa? Ada apa? Fans dia nerror lo?"

"Not me,"ujar Rachel, "my sister."

Lia dan Jose serempak melotot, "Kenapa?!"

"Gue ditelpon mamah gue dan mamah gue bilang adek gue dibully gendut, dibilang kalo ga pantes banget jadi adek ipar Bian. Terlebih temen-temen dia tau latar belakang keluarga gue, adek gue kena bully dan gue -"

Rachel tak bisa menyelesaikan kata-katanya karena kalah dengan isak tangis yang telah ia sembunyikan selama ini. Lia dan Jose terperangah mengetahui fakta baru yang mereka dengar.

"I am trying to hold on when his fans body shammed me but for my sister is an excuse for me,"ujar Rachel tegas, "kalo hubungan gue sama Bian juga bikin adek gue menderita, mending gue mundur aja."

"Chel-"

"Without Bian, i still a thing that maybe has a little break. But without my sister, i am definitely nothing because she is the reason why i stay."

Jose dan Lia mendekat ke arah Rachel. Lia mengelus pelan punggung Rachel yang masih naik turun karena terisak.

"Selama gue siuman kemaren, gue mikir gue goblok banget,"ujar Rachel, "kalo gue beneran meninggal siapa yang jadi kakak buat adek gue? Padahal gue sesayang itu sama dia dan gue malah mau ninggalin dia."

"Sssttt,"desis Lia mencoba menenangkan isakan Rachel yang makin mengencang, "Lena pasti seneng sama lo karena lo bisa bertahan."

Jose ikut mengusap pelan rambut Rachel agar setidaknya menenangkan gadis itu.

Rachel menghentikan tangisnya lalu menatap Lia dengan tekad kuat.

"Gue mau sembuh, Li. Gue mau mencintai diri gue sendiri sebelum gue mencintai semua orang."

--

Bian tidak lagi sama. Bian yang murah senyum, Bian yang suka bercanda, Bian yang sederhana sekarang terganti dengan Bian yang nampak tak memiliki semangat hidup.

Ia sendiri sempat beberapa kali kembali menengok Rachel namun semua keberadaannya berakhir ditolak oleh gadis tersebut.

Bian tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk memperjuangkan hubungannya. Ia terlalu mencintai gadis bernama Ilonia Rachel Zevanya hingga ia tak sanggup membayangkan masa depannya tanpa gadis tersebut.

"Bi? Boleh masuk gak?"

Lamunan Bian terpecah ketika ia mendengar ketukan di pintu studio dan suara sapaan Abraham. Bian hanya mengangguk karena ia tau Abraham akan tetap masuk walau dia melarangnya.

"Jadi nih satu lagu?"tanya Abraham setengah meledek ketika melihat Bian tengah menatap kosong kertas berisi coretan tangannya,

"Kenapa Bram? Mau ngomong apa?"tanya Bian,

Abraham menghela nafas panjang, "Lo beneran sudah putus sama Rachel?"

"I never say yes but she always torture me for coming again to her, so yeah.."

"Bi, aku sakjane gak pateo mudeng nek koe ngomong inggris.(aku sebenernya gak terlalu ngerti kalo kamu ngomong inggris."keluh Abraham yang membuat Bian mau tak mau tertawa kecil,

"Gue beberapa kali jenguk dia lagi, ke rumah Lia, bahkan nemuin di kampus tapi berakhir diusir."ujar Bian meringis,

"Lo tau alasannya kenapa dia mutusin lo?"tanya Abraham,

"Karena katanya hidup dia berantakan dan gue terlalu sempurna?"ujar Bian tertawa pahit, "Gila apa ya? Sempurna darimana gue tuh. Mana ada sih orang yang sempurna banget, Bram?"

Abraham mengangguk pelan, "Alasannya cuma itu?"

"Yang gue simpulin itu,"ujar Bian, "dia juga bilang kalo dia sendiri bahkan belum bisa mencintai dirinya dia sendiri makanya mau putus. Padahal gue bisa bantuin hal itu."

"Bi,"ujar Abraham memulai, "gak semua bisa menangani mental illnessnya dengan dibantu. Semua terkadang tuh dimulai dari diri mereka sendiri dulu."

Abraham menghela nafas, "Gue tau mungkin gue berasa kaya ngapain sih ikut ikut kisah cinta lo, tapi Bi, pahami kehidupan Rachel."

"Gue bahkan baru tau semuanya kemaren. Tau gak sih lo gue bener-bener merasa bersalah karena gue yang notabenenya sudah dua tahun sama dia tapi gak tau dia semenderita itu."ujar Bian mengusap wajahnya dengan matanya yang memerah,

"Iya gue tau,"ujar Abraham, "setidaknya kasih Rachel ruang buat menata hidupnya dulu, Bram."

Bian menatap leadernya penuh antisipasi karena di kala seperti ini Abraham memang paling bisa diandalkan.

"Gue tau di antara semua mantan lo, lo paling sayang banget banget banget sama Rachel bahkan sampe sempet kan lo nekat pengen lamar dia,"ledek Bian, "tapi untuk kali ini ayo ngalah dulu sama takdir. Jangan maksain Rachel."

"Hidup tuh kaya kertas polos dan semua hal yang terjadi tuh kaya coretan crayon."ujar Abraham,

"Sekarang kertas Rachel lagi terlalu banyak warna yang kelam. Dari yang gue denger dari Lia, dia pengen sembuh. Rachel lagi berusaha mencoba mengkreasikan ulang supaya kertasnya jadi pemandangan yang indah. Walau harus rela satu warna di kertas itu hilang,"

"Warna yang hilang tuh kisah cinta kalian dan opsinya cuma ada dua. Lo menyerah dengan menghilang atau tetep setia jadi crayon yang nunggu Rachel kembali ngambil lo buat dicoret dikertasnya."ujar Abraham,

"Dua opsi itu sama-sama mendukung Rachel tapi dengan porsi dan posisi lo yang berbeda. Dan cuma lo yang bisa pilih karena lo yang jalanin."

Quiet SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang