Pria yang tubuhnya serba abu-abu itu tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar gadis yang tengah terlelap, bersama tatapan kosong ia melangkah ke depan menghampiri ranjang tempat sang perempuan berbaring hingga kini ia tepat berada di samping kasur. Tubuhnya membungkuk sembilan puluh derajat dan kini mulutnya berada di dekat telinga insan yang tertidur nyenyak itu.
"Huh ... huh ... hust ...." Ia meniupi telinga gadis itu.
Dan si gadis bereaksi akan angin dingin tersebut, wajahnya mengerut dengan tangan mengais-ngais telinganya, tetapi setelahnya ia mengecap-ngecap mulut dan tidur tenang kembali.
Lagi, pria abu-abu itu meniupi telinganya.
Reaksi si gadis ini lebih risi, ia menggerutu, "Apa, sih?" Kemudian membuka matanya.
Wajahnya bertatap-tatapan dengan wajah abu-abu yang datar dan dingin tersebut.
"HUAAAA!!!" pekiknya spontan, melompat satu kali ke belakang karena terperanjat kaget. "Abah, apa-apaan, sih?!"
Si pria berbadan abu-abu tersebut menyengir, pun setelahnya tertawa geli. "Kamu sendiri ... jam segini masa belum bangun? Ingat kata Abah, kalau gak bangun pagi rezeki bakal dipatok ayam, Tyas."
"Aduh ... Abah!" Tyas mendengkus sebal, menggaruk-garuk rambut hitam panjangnya yang berantakan. "Ini, tuh, hari minggu, Bah! Hari libur ... telat dikit bangun gak papalah sesekali."
"Gak baik buat cewek bujang, enggak baik." Abahnya menunjukkan telunjuk yang ia arahkan kiri dan kanan. "Cepet bangun, mandi, terus sarapan! Jangan lupa bikinin Abah kopi item ekstra pait."
"Hm ... iya, Bah. Iya."
Tyas pun turun dari ranjang kayu berkasur tipisnya dengan malas, membersihkan diri, mengganti seluruh pakaian menjadi Tyas baru yang lebih rapi dengan pakaian sederhananya, sebelum akhirnya ia membuatkan sarapan untuk dirinya dan kopi hitam untuk sang abah. Ia meletakkan sarapannya yang berupa telur mata sapi, sayur oseng, dan sepiring nasi, sedang kopi hitam ia letakkan di hadapan abahnya yang duduk di seberangnya.
Tyas mulai menikmati sarapan paginya, begitupun sang abah. Namun berbeda dengan Tyas yang menggunakan tangan kosong, sang abah memejamkan mata dengan salah satu tangan berada di atas gelas kopi yang masih panas.
Air di kopi itu bergerak.
Berputar, dan semakin turun, hingga hasilnya menjadi tandas menyisakan ampas hitam di sana. "Huah ... bikinan kamu emang paling maknyus, Tyas!" Abahnya mengacungkan dua jempol padanya.
Tyas tertawa pelan. "Dasar Abah!" Pria abu-abu tersebut hanya tertawa.
"Ya udah, Abah jalan-jalan dulu pengen liat sawah, dadah ...." Perlahan-lahan, tubuhnya yang abu-abu mentransparan dan akhirnya menghilang dari hadapan. Tyan menghela napas panjang dan meneruskan menghabiskan sarapannya.
Setelah sarapan habis, ia memulai kegiatan pagi lain. Pertama-tama, yang ia lakukan adalah mencuci, hal yang perlu ia lakukan terlebih dahulu adalah mengambil air di sumur belakang rumah dan di sana, ada seorang wanita berapakain lusuh putih dan rambut hitam panjang duduk di tepian sumur.
Tyas sama sekali tak terganggu, ia tetap menimba sumur guna mendapatkan air dengan ember berkatrol.
"Yas, gue masih belum nemu cogan masa ...," kata si wanita abu-abu itu dengan nada centilnya. "Lo bawa, kek, cogan ke tabir gue! Siapa, kek! Bantulah gue gitu!"
"Males!" Setelah ember berisi air berada di atas, Tyas memindahkan air ke ember berisi pakaian miliknya.
Wanita abu-abu itu mendengkus. "Huh, dasar sombong gak mau bantuin! Andai gue bisa rasukin lo, pasti ...."
"Apa, hah?! Lo berani apa?!" tanya Tyas dengan membentak, wanita abu-abu itu menyengir kuda dengan wajah ciut. "Dasar, udah mati masih aja centil!"
Tyas pun mulai mencuci, dan kala ia tak melihat wanita abu-abu itu mengejeknya.
Selesai mencuci pakaian, tiba saatnya Tyas menjemur di depan rumahnya yang sederhana ala perdesaan itu, ia mengaitkan baju demi baju dengan penjepit di tali tambang panjang yang terikat pada kayu di tiap ujungnya.
"Pagi, Tyas!" sapa seseorang, atau lebih tepatnya dua orang. Pria berbadan gemuk dengan temannya yang berbadan cungkring yang tengah melakukan lari pagi. Mereka berhenti di hadapan Tyas namun tetap berjalan di tempat.
"Pagi juga!" sapa Tyas balik, keduanya tersenyum lebar mendengarnya.
"Mau ikut lari pagi juga, gak?" tanya yang berbadan gemuk, tertawa pelan.
"Akang-akang duluan aja, nanti gue nyusul," jawab Tyas dengan nada malas. "Gue banyak kerjaan!"
"Eh, oke, Tyas!" sahut si cungkring, si gemuk sempat tak mau berjalan sampai ia mendorongnya. Sempat kesal pula, namun dipaksa terus berjalan akhirnya mereka berdua pun meneruskan lari pagi mereka.
Selesai hal tersebut pun, Tyas siap masuk ke rumahnya ketika tiba-tiba abahnya muncul di hadapannya. Tyas terperanjat mundur, terkejut.
"Bah, bisa gak kalau nongol itu gak usah pake tiba-tiba begitu? Copot jantung Tyas!" katanya kesal.
"Ada hal gawat, Tyas. Ada hal gawat," ujar sang abah dengan nada panik.
Tyas mengerutkan keningnya. "Gawat apa, Bah?"
"Tunggu, tunggu sebentar, dia bakal datang sebentar lagi!"
Tyas semakin kebingungan. "Apa, sih, Bah? Langsung ngomong aja apa susahnya?"
"Agak sulit menjelaskan ... tunggu sebentar saja, oke? Tunggu ...."
Tyas menghela napas, pasrah dan menurut saja permintaan abahnya. Ia lalu menghadap ke arah depan ke area jalanan perdesaan dari tanah tersebut. Dan nyatanya, tak lama, sebuah mobil berwarna putih muncul, berhenti tepat di jalanan.
"Itu, itu si pengusaha atau apalah, yang katanya dia pengen beli semua sawah kita terus jadiin itu jadi swalayan, ngubah desa ini jadi ... kota!"
Mata Tyas membulat sempurna menatap abahnya. "Serius, Bah?" Abahnya mengangguk mantap.
Tatapan Tyas memicing, menatap kesal ke arah mobil itu yang keluar seorang pria berpakaian sopir di sana. Ia memutar badan ke sisi lain mobil untuk membukakan pintu belakang pada seseorang dan pria pendek berkacamata dengan koper dan kain di tangannya keluar dari sana. Lalu, terakhir, mereka lalu berada di pintu belakang di sisi yang tepat mengarah pada rumah Tyas.
Si pria berkacama langsung menghamparkan kain yang ternyata panjang tersebut, meluruskannya ke tanah dan yang membuat Tyas ternganga dengan hal itu terlebih ia melakukannya hingga ke bawah kakinya.
"Permisi, ya, Mbak."
"Apaan, dah?" tanya Tyas bingung.
Pria berkacamata berjas itu mengabaikan dan kembali ke pintu belakang itu, dan si sopir membukakan pintu. Sepasang kaki bersepatu kulit hitam yang teramat menyilaukan memijak kain itu, Tyas semakin ternganga. Kaki itu bergerak, mengangkat badan yang dipikulnya, kini sosok itu berdiri.
Seorang pria tua, janggut plus kumis tebal yang membuat Tyas meringis geli, dengan pakaian berupa jas kasual berwarna hitam seirama dengan celana. Ia memakai kacamata orang buta, wajahnya menghadap Tyas namun si gadis tak tahu matanya menatap ke mana, kemudian langkah demi langkah tegap ia ambil ke depan mendekati Tyas.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
CEWEK INDIGO VS BOS SONGONG [Brendon Series - A]
Romance18+ Ketika bos songong dihadapkan dengan gadis indigo yang akrab dengan hantu ... apa jadinya? Berawal dari Tyas Yusuf yang menolak menjual sawah warisan ayahnya yang harus ia jaga ke seorang pemimpin perusahaan, Brendon Anderson. Siapa sangka, sete...