Sesampainya di rumahnya yang mewah dan megah, ia langsung berlari keluar mobil kala pintu dibukakan sopirnya tanpa babibu dan masuk ke rumah. Meski heran dan bingung akan keadaan atasannya, si sopir menertawakan pria itu.
Brendon berada di dalam rumahnya yang sepi, menuju ke kamarnya, melepaskan seluruh pakaian kemudian melompat ke tempat tidur. Ia memejamkan mata erat-erat, menyelimuti diri dengan selimut.
"Tadi semua cuman mimpi ... cuman mimpi ...." Ia frustrasi sendiri akan wantian itu menyadari semuanya terlalu nyata untuk hanya sekadar mimpi.
"Kamu harus tanggung jawab ...." Sebuah suara terdengar berbisik, Brendon membuka matanya seketika. "Kamu ... kamu harus bertanggung jawab!"
Brendon terperanjat, duduk di kasurnya kemudian. Ia mengorek-ngorek telinganya, kemudian menatap sekitaran memastikan telinganya benar-benar menangkap suara bisikan itu. Tak ada siapa pun yang cukup dekat untuk membisikinya dan hal tersebut membuat Brendon merinding.
"Pertanggungjawabkan perbuatan kamu terhadap keluarga saya ... tanggung jawab ...." Lagi, bisikan itu, Brendon menutup kedua telinganya dengan mata tertutup. Ia terisak pelan.
"Ini gak nyata ... ini gak ...."
"SAYA BILANG TANGGUNG JAWAB!"
Prang!
Teriakan tersebut bertepatan kaca yang pecah dan Brendon berteriak kaget. Badannya yang berisi basah akibat keringat dan gemetaran ... dan dengan ketakutan ia memberanikan diri melihat ke sumber kaca yang pecah.
Cermin ....
Seorang pria abu-abu berdiri di sana, di kaca pecah itu, namun kala Brendon menatap sekitarannya pria abu-abu itu tiada. Ia hanya ada di bayangan kaca dan itu membuat Brendon ketakutan setengah mati, matanya membulat sempurna dan ia membeku di tempat.
"Kamu ...." Abah, sosok pria abu-abu yang diliputi amarah, menunjuk Brendon yang membeku di tempat. "Harus membayar ... kamu yang nyuruh mereka bakar gudang itu, kan? Kamu sudah buat anak saya menderita! Dan sekarang, saya yang akan buat kamu menderita kalau kamu tidak bertanggung jawab!"
Dan mendengar itu, Brendon ternganga. Ia mengingat soal kemarin ... gadis itu ....
"... dan terakhir ... paling penting ... ini satu-satunya warisan dari abah gue, wasiat beliau buat jaga dan rawat, meneruskan beliau. Sampai di sini paham, Om?"
Brendon menggeleng. "Enggak, hantu enggak nyata, ini ...."
"Saya bilang tanggung jawab!" teriak abah kesal, mencekik dirinya sendiri dan tanpa disangka, Brendon juga ikut mencekik dirinya. Pria itu kembali terbaring ke kasur, dalam keadaan napas terengah karena mencekik diri sendiri. Ia berusaha mengendalikan kedua tangannya itu yang seakan bergerak tak sesuai keinginannya. "Tanggung jawab atas semuanya atau kamu saya bikin menderita!"
Brendon berusaha membebaskan diri dari tangannya itu, sekuat tenaga, hingga akhirnya ia berhasil bebas. Ia melompat dari kasurnya, menatap ke arah kaca di mana pria abu-abu itu menatapnya nyalang untuk terakhir kali sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Napas Brendon memburu, panik. Ia lalu mengacak-acak rambutnya lagi. "Enggak, ini gak nyata ... enggak ...."
"Kamu ini bener-bener kepala batu! Ini nyata, dan kamu harus tanggung jawab!"
"Eh?" Brendon bisa merasakan kakinya yang bergerak, namun bukan atas kehendaknya. Pria itu lalu berlari ke dapur padahal badan atasnya menahan agar tak ke sana, namun tetap ia berada di dapur. Ia menyalakan kompor yang ada di sana dan Brendon semakin panik, itu semua bukan kehendaknya. "Kenapa ... ke-kenapa ...."
"Api dibalas api, atau kamu tanggung jawab?!" tanya abah, yang membuat Brendon terhenyak karena suaranya bukan di mana-mana melainkan ... kepalanya. "Cepat tanggung jawab atau ...."
Tangannya mulai mengarah ke api itu, semakin dekat semakin panas dan Brendon panik.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
CEWEK INDIGO VS BOS SONGONG [Brendon Series - A]
Romansa18+ Ketika bos songong dihadapkan dengan gadis indigo yang akrab dengan hantu ... apa jadinya? Berawal dari Tyas Yusuf yang menolak menjual sawah warisan ayahnya yang harus ia jaga ke seorang pemimpin perusahaan, Brendon Anderson. Siapa sangka, sete...