Part 2

18.2K 1.1K 40
                                    

Jantung Tyas berdegup, bukan karena apa melaikan agak ngeri dan takut. Namun, ia memejamkan matanya sesaat, sebelum akhirnya membukanya lagi.

Dan warna-warna itu muncul di ketiganya.

Dua orang itu, si sopir dan pria pendek berkacamata min kelihatan dominan hitam, tidak tua tidak pula muda, hitam yang dianalisis Tyas adalah kelelahan, depresi, hal yang wajar terjadi mengetahui di sekitar mereka adalah pemilik dominan warna merah pekat.

Si pria berkumis dan janggut tebal itu, yang artinya pemimpin yang ditaktor.

Memejamkan matanya sekilas, warna-warna itu pun menghilang dari badan mereka bertiga.

"Tyas, hati-hati."

"Oke, Bah," jawab Tyas pelan, bertepatan itu si pria berambut kitaran mulutnya melangkah di atas kain menghampiri Tyas.

Semakin dekat, dekat, hingga akhirnya keduanya berhadap-hadapan. Si pria melepaskan kacamatanya, terlihatlah mata cokelat gelap itu.

Ia lalu tersenyum. "Permisi, Bu—"

"Gue masih muda," jutek Tyas.

"Uh mm ... kalau begitu ... Nona? Perkenalkan, nama saya Brendon Anderson." Tyas melipat tangan di depan dada, mengerutkan keningnya tak peduli. "Apa benar ... Nona yang cantik ini pemilik sawah luas yang ada di sana?"

"Bener, dan kalau lo mau tanya apakah gue bakalan jual tu sawah sama lo. Sorry, gue gak nerima!"

Pria itu tetap tersenyum, meski dengan nada bengis. "Akan saya bayar tinggi kamu, bahkan kalau kamu pengen gak miskin lagi seumur hidup, berturun-turun!"

"Lo pikir gue miskin, ya? Maaf maaf aja, oke! Gue mampu!" Tyas menyeletuk kesal. "Udah, lo sana pergi! Cari tempat lain!"

"Lho, masa kamu gak mau kaya?"

"Ada banyak alasan yang bikin gue ogah nerima duit dari lo! Pertama, karena gue mampu, penghasilan dari sawah itu cukup buat gue! Kedua, orang-orang juga dapet penghasilan dan berkah, mereka kerja di sawah gue dan dia nikmatin hasilnya berupa beras! Tanpa petani, lo makan apa, hah?! Indonesia itu prinsipnya gak makan kalau gak pake nasi! Dan terakhir ... paling penting ... ini satu-satunya warisan dari abah gue, wasiat beliau buat jaga dan rawat, meneruskan beliau. Sampai di sini paham, Om?"

"Kamu keknya bodoh banget. Kamu bisa lakuin apa aja dengan uang yang saya kasih, termasuk bikin apa gitu dan memperkerjakan orang desa! Dengan saya ngebikin desa ini lebih kota, mereka juga diuntungkan secara finansial, mereka bisa kerja sama saya dan gak perlu capek-capek becek-becekan di sawah! Dan lagi, abah kamu udah meninggal, dia gak bakal tau soal itu. Ayolah, tunggu apa lagi? Kamu bisa tentuin harga sesuka hati saat ini, sebelum saya berubah pikiran."

Abah menatap nyalang mendengar itu, termasuk Tyas yang tak menyangka ada orang yang berani mengatakan hal tersebut. Keterlaluan.

"Pergi lo, Bang***! Congor tu dijaga!" Tyas mendorong pria itu yang spontan termundur karenanya. "Ngomong gak pake otak! Mending lo pergi dari sini! Pergi! Gue gak akan pernah jual tu sawah sama lo! Lo gak tau betapa pentingnya tu sawah buat semua orang! Dan pentingnya keberadaan desa ini! Lo gak tau!"

Pria itu menatap kesal Tyas, ia menatap jasnya dan langsung dengan cepat si pria berkacamata menyemprotkan sesuatu di sana kemudian menyekanya. Ia memejamkan mata selama beberapa saat, sebelum akhirnya menatap gadis itu.

"Kamu akan menyesal dengan kata-kata yang kamu ucapkan pada saya."

"Sebaliknya, elo yang bakal nyesel!"

Pria itu berdeceh. "Ayo pergi dari sini." Dan ia pun berbalik, memasuki mobilnya dengan dibukakan pintu oleh sopir, ketiganya pun masuk ke dalam mobil. Sementara itu, si pria berjanggut menatap Tyas dengan nyalang untuk terakhir kalinya sampai jendela mobil tersebut tertutup.

"Dasar, orang zaman sekarang!" kata Tyas sebal. "Ya udah, Bah! Ayo masuk!"

Tyas sudah berbalik dan melangkah beberapa langkah ke depan, namun terhenti karena sang ayah yang tetap berdiri di tempat.

"Bah?"

"Perasaan Abah enggak enak," kata pria abu-abu itu, menatap putrinya.

Tyas tersenyum. "Apa pun yang terjadi, Bah. Tyas bakal jaga warisan Abah sekuat tenaga." Abahnya balik tersenyum, keduanya pun melangkah masuk ke rumah.

Tyas meneruskan kegiatan rumah tangganya hingga akhirnya esok hari pun tiba.

"Tyas! Neng! Neng Tyas!" Sebuah teriakan terdengar dari luar, Tyas yang tengah tertidur nyenyak langsung bangun dengan spontan. "Neng Tyas!" Kembali, suara itu berteriak, awalnya Tyas kesal mendengarnya namun nada panik yang kentara membuat si gadis bangkit dari tidurnya dan berlari keluar. "Tyas!"

"Kenapa, Kang?" tanya Tyas sama paniknya.

"Itu ... gudang beras abah kebakaran!" katanya, yang spontan membuat Tyas membulatkan mata sempurna.

Langsung, ia berlari tanpa peduli keadaannya yang sehabis tidur—berantakan—dan tanpa alas kaki menuju tempat kejadian perkara. Sang pria menutup pintu rumahnya sebelum akhirnya mengekorinya.

Tyas menutup mulutnya melihat gedung itu yang terbakar, api tak terlalu besar karena para warga yang sudah berbondong-bondong membantu memadamkan namun sebagian bangunan telah hangus dan hampir roboh. Air mata Tyas meluncur melihat pemandangan tersebut.

"Ayo, angkut-angkut!" kata beberapa orang yang mengangkat beberapa karung beras, meletakkannya tak jauh dari Tyas berdiri. Gadis yang menangis itu menoleh ke arah mereka dan mereka balik menatapnya.

"Cuman segini yang bisa diselametin, Tyas. Maaf ...." Tangisan Tyas membesar. Si pria gemuk yang memanggilnya siap memeluknya untuk menenangkan namun temannya yang cungkring langsung menariknya, kini si gadis ditenangkan oleh ibu-ibu yang ada di sana.

"Yas, ini pasti sengaja ada yang bakar, jadi Akang udah telepon polisi." Pria gemuk itu menjelaskan.

Tyas masih menangis, syok. Mereka pun memutuskan membawa si gadis ke rumahnya.

Sementara itu ... beberapa saat yang lalu ....

Pria abu-abu itu menatapi putrinya yang tengah tertidur dengan senyum hangat dan kadang mengipasinya agar nyamuk tak menggigiti. Namun, mengingat kejadian pagi tadi ... senyumnya tergantikan menjadi ekspresi khawatir yang kentara.

Badan abu-abunya pun mulai menjadi transparan perlahan-lahan, hingga akhirnya sepenuhnya hilang. Bertepatan itu, ia berpindah di tengah-tengah sebuah sawah luas berhektar-hektar dengan pemandangan serba hijau. Matanya menatap sekitaran yang semakin terang dan terang ....

Usai menyusuri sawah, ia berpindah lagi dengan cara yang sama, ke sebuah gudang ....

"Hei!" pekik abah melihat beberapa pria berbadan kekar menyiramkan sesuatu di sekitar bangunan itu. "Mau apa kalian?! Jangan!" katanya, mendekati para pria itu yang masih menyirami ... bensin!

"Hentikan!" Abah berusaha mendorong, menyingkirkan, menghajar mereka, namun nyatanya tubuhnya menembus mereka.

Cklek!

Mata pria abu-abu itu membulat sempurna melihat salah satu dari mereka membuka pematik, api keluar dari sana. "Tidak ...."

Mereka lalu tertawa setelah melemparkan pematik ke area yang sudah mereka sirami bensin, dan kemudian ... api cepat menyebar.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

CEWEK INDIGO VS BOS SONGONG [Brendon Series - A]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang