Mata Tyas membulat sempurna. "Maaf ...," katanya penuh penyesalan.
"Enggak, itu salah saya, saya berengsek. Itu kebiasaan buruk saya, jika ada karyawan di sekitar saya, saya gak merubah sikap saya menjadi pria-pria baik ...." Brendon menarik napasnya dalam-dalam. "Dan saya sadari selama ini saya pun bukan pria baik-baik."
"Enggak, enggak ada orang yang bener-bener jahat, dan gak ada orang yang bener-bener baik. Lo mungkin cuman orang baik yang termakan luka masa lalu, gue wajarin itu ... tapi sebenernya gak seharusnya lo balas dendam ke orang yang gak tahu apa-apa, gak bersalah."
"Saya tahu ... saya terlalu muda memikirkan hal itu." Brendon menunduk sedih. "Saya sadar sekarang."
"Jadi, lo bakal berubah setelah ini?"
Brendon menggedikan bahu. "Entahlah, saya akan mencoba. Kalau tidak terlambat ...."
"Menurut gue gak ada kata terlambat, sih. Selama lo masih bisa usaha. Ya ... mungkin dimulai saat ini." Tyas tersenyum ke arah Brendon. Ia memejamkan matanya sesaat dan melihat warna hitam itu mulai sedikit mereda.
"Saya harap begitu ... dan mungkin saya bisa belajar banyak dari kamu, tentang kebaikan hati kamu." Brendon tersenyum simpul. "Hah ... saya rasa curhatan saya bikin kamu telat tidur."
"Yah ... kalau curhat bikin lo lebih tenang, gue siap jadi pendengar kapan aja. Kadang ada hal yang gak boleh lo pendam sendiri, takutnya jadi pikiran dan bikin lo tertekan." Tyas mengerjap dan warna itu menghilang dari Brendon. "Gue tipe yang anti bongkar-bongkaran, serius!"
"Yah, terima kasih sudah mendengarkan. Eh, omong-omong, gimana kamu tahu—"
"Abah keluar dari badan lo, dia keknya khawatir lo mimpi ampe segitunya ...." Brendon terperangah mendengarnya. "Dan mulai sekarang, Abah gak bakal rasukin lo lagi, asal lo ... tetep ngejalanin hukuman."
"Eh, mana bisa begitu!" Abah tampak tak terima.
Tyas menoleh ke belakangnya. "Abah, kesian!" katanya dengan kesal, sementara Brendon menatap bingung dengan siapa Tyas berbicara.
"Itu ... Abah ...?" Tyas menoleh ke arahnya, dan mengangguk. "Kamu ... bisa liat yang ...." Tubuh Brendon tiba-tiba merinding.
"Bisa, dan beda sama di kebanyakan film horor ... mereka gak seserem itu, kok. Wujud mereka sama kek manusia, walau warnanya abu-abu." Brendon tetap merinding disko. "Yah, walau marah emang bisa nyeremin, kek Abah kemarin. Dia ampe bisa keluar tabir saking kuatnya, terus nemuin elo!"
Brendon hanya meringis ngeri.
"BTW, Pak Brendon Anderson, gimana pengalamannya sama hantu dan tetek bengeknya?"
"Saya ... sebenernya tipe yang percaya gak percaya sama begituan, tapi sekarang keknya saya harus percaya ... terlebih saya ...." Ia merinding lagi. "Abah, yang di belakang hantu cewek itu."
Tyas tertawa. "Awalnya gue juga takut begitu, lho. Serius!" Brendon mengerutkan kening. "Kekuatan ini muncul pas gue usia tujuh belas tahun, SMA. Sampe Abah bantu gue buat kebiasa. Gue ini indigo, kuat, mereka gak bakal berani sama gue. Gue gak bisa diganggu, dirasukin, bahkan katanya kalau kekuatan penuh gue bisa ngendaliin, ngusir, dan banyaklah pokoknya!"
"Itu keturunan?"
Tyas mengangguk. "Abah ternyata juga punya tapi gak ngasih tau, karena dia pengen gue di usia yang siap dan bakal percaya hal begituan. Dan selain hantu-hantuan begitu, gue juga bisa liat aura orang ... emosi mereka."
"Wah ...." Brendon tampak takjub. "Kamu gak mau jadi kek paranormal atau apa gitu?"
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
CEWEK INDIGO VS BOS SONGONG [Brendon Series - A]
Romance18+ Ketika bos songong dihadapkan dengan gadis indigo yang akrab dengan hantu ... apa jadinya? Berawal dari Tyas Yusuf yang menolak menjual sawah warisan ayahnya yang harus ia jaga ke seorang pemimpin perusahaan, Brendon Anderson. Siapa sangka, sete...