Tyas menggeleng. "Kekuatan gue bukan buat begituan, dan plis rahasiain ini ke semua orang. Lo harus tau karena ... yah, kejadian sekarang ini." Brendon mengangguk paham. "Lagi, gue punya warisan dari abah, yang harus gue jaga."
"Sawah itu, kan?"
"Itu ... mata pencaharian turun termurun keluarga gue, gue gak bisa ninggalin. Gue lulusan pertanian, jadi gue paham betapa pentingnya itu semua."
"Eh, anak kuliahan—"
"Jangan salah woi! Abah juga anak kuliahan, kami jurusannya sama! Dan kami sengaja tinggal di kampung, ya tujuannya mengelola sekitaran. Sumber daya ini penting buat kami ... bahkan warga desa." Keduanya menunduk bersamaan.
Lama terdiam ... Tyas menguap.
"Ya udah, gue keluar, gue ngantuk! Besok kalau lo ngerasa enakkan, kita ke sawah, mulai kerja bareng! Met tidur, Pak Anderson!"
"Saya lebih suka kamu panggil Brendon. Dan selamat tidur juga, Tyas."
Tyas tersenyum. "Kalau lo sendiri gak sekaku itu ngomongnya, gua bakal manggil elo Brendon."
Brendon mengangguk. "Oke, saya—aku usahakan."
"Besok abis mandi langsung ke rumah, sarapan. Mau makan juga ke rumah aja, gue gak bisa nganterin ke elo terus."
"Oke." Brendon mengangguk.
Tyas tersenyum lagi sebelum akhirnya keluar dari gudang dan menuju rumahnya lagi. Ada perasaan aneh yang muncul saat ini, dan Tyas masih merasakannya setelah berbaring di kasur tipisnya. Mengabaikan hal itu, ia pun tertidur dengan lelap.
Ia bangun pagi-pagi sekali untuk membersihkan diri, kemudian membuat sarapan, ia lalu duduk di sana menunggu Brendon bersama abah yang menikmati kopi hitamnya.
"Kamu sarapan duluan sana, tu anak mandinya keknya kayak bidadari," kata abah, menyesap kopinya.
Tyas menghela napas, ia siap menikmati sarapannya namun sebuah suara membuatnya menoleh. Brendon datang. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya dan melangkah lebih dekat. Namun, langkahnya terhenti melihat kopi yang pelan tetapi pasti mulai berkurang tanpa apa pun yang menyentuhnya.
Ia menatap horor.
"Itu abah, sebentar dia pindah duduk baru lo duduk." Brendon menenggak saliva, ia masih menatap kopi itu yang akhirnya habis dan hanya menyisakan ampas. Tyas mengambil gelas itu dan meletakkannya ke samping. "Udah, duduk aja!"
Dengan ragu-ragu, pria itu pun duduk.
Tyas mulai menikmati makan paginya, dan karena lapar Brendon akhirnya menepis rasa takut itu dan mulai makan dengan lahap.
"Serius, lo ini sebenernya laper atau doyan? Gue yakin orang kaya kek elo gak makan makanan yang begini sederhananya ...."
Brendon terdiam, tampak berpikir. "Keduanya ... tapi serius, masakan ini enak banget, lebih enak dari makanan yang timbal mahal dan penampilan mewah tapi rasanya kayak sampah."
"Lo pernah makan sampah?"
Brendon tersenyum kecil. "Yah ... pas kecil aku pernah sempat gizi buruk."
Tyas membulatkan mata. "So-sorry ...."
"It's okay." Brendon tertawa, menikmati makanannya. "Ini enak banget, aku suka, terima kasih banyak."
Tyas tertawa miris. "Sama-sama ...," jawabnya agak kikuk.
Menyelesaikan sarapan mereka, keduanya pun siap menuju ke sawah. "Lo siap?" tanya Tyas tertawa pelan.
Brendon menarik napas dalam-dalam. "Yah ...."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
CEWEK INDIGO VS BOS SONGONG [Brendon Series - A]
Romance18+ Ketika bos songong dihadapkan dengan gadis indigo yang akrab dengan hantu ... apa jadinya? Berawal dari Tyas Yusuf yang menolak menjual sawah warisan ayahnya yang harus ia jaga ke seorang pemimpin perusahaan, Brendon Anderson. Siapa sangka, sete...