27. Manja

795 46 3
                                    

Ealin terdiam menatap panorama alam di hadapannya. Ia masih terhipnotis dan terpukau oleh rayuan alam ini meskipun sudah kedua kalinya ia berkunjung.

Lampu kendaraan yang berlalu lalang membentuk aliran kemilaunya jalan. Lampu gedung pencakar langit pun ikut serta menghiasi gelapnya malam. Tak lupa yang paling istimewa ciptaan Tuhan, yap taburan bintang pun tanpa absen untuk mewarnai langit kelabu malam ini.

"Malam perfect," kata itu terlontar dari bibir manis Ealin.

Pandu terkekeh dan seutas senyum mengembang di wajahnya. "Masih belum perfect Lin," tuturnya.

Ealin menoleh ke samping memandangi Pandu yang menatap lurus ke depan. "Kenapa?"

"Bulannya nggak nampak," singkatnya.

Ealin baru sadar jika Dewi malam tidak menampakkan dirinya, kemungkinan sedang tertutupi oleh awan. Pikir Ealin. "Heem,"

"Tapi menurut gue itu nggak masalah, soalnya udah ada lo yang melengkapi malam ini," Pandu melontarkan kata dengan spontan. Dia pun  juga bingung dengan dirinya sendiri mengapa bisa bercakap seperti itu.

Ealin terdiam berusaha mencerna ucapan Pandu. Dirinya pun mulai gugup dan salah tingkah."Nggak jelas!"

"Kurang jelas?"

"Apanya?"

"Lupakan," nada bicara Pandu seolah sebal karena Ealin tidak paham maksudnya.

Ealin menganggukkan kepala lalu menatap kembali panorama itu.

"Lin,"

"Hem,"

"Lin,"

"Hem,"

"Ealin,"

"Apa?" Ealin menoleh ke arah Pandu dan menatapnya lekat.

"Cuek amat,"

"Nggak,"

"Ya jawabnya jangan cuma 'hem'!"

"Terus gimana?" Ealin mengernyitkan keningnya.

Pandu menggaruk tengkuknya sambil menatap ke bawah sepatunya.

"Terserah asal nggak cuek,"

"Ya,"

Keduanya pun saling membisu memikirkan dunianya masing-masing. Rasa canggung pun menyelimuti dinginnya malam ini. Saling bertatapan saja mereka tak kuasa, berasa desiran jantung menghantam jika saling menatap.

"Ndu,"

Pandu diam.

"Ndu,"

"Kenapa sayang,"

Ealin berasa di jatuhkan dari rooftop itu. Perasaannya hancur berkeping-keping bersama kepingan cinta di hatinya. Sungguh manis tak karuan.

"A..apa sih pakek kata itu segala," Ealin mulai gugup.

"Emang nggak boleh?"

"Nggak tahu,"

"Payah!" Pandu menjitak jidat lebar Ealin.

Si empunya pun meringis kesakitan. "Gu..gue nggak tahu emang,"

"Yaudah gue anggap boleh,"

"Boleh apa?" tanya Ealin bingung. Ealin menggerutu mengapa dirinya menjadi lola dan pikun seperti ini? Pasti saraf otaknya sudah tidak bekerja dengan baik.

"Manggil s-a-y-a-n-g,"

Lagi lagi jantung Ealin menjerit seakan gendang telinganya ikut mengernyit. "Pasti udah merah padam pipi gue, jangan sampek lah jangan sampek!" Batinnya.

ANDESTIN [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang