29. Moya Marsheilla

751 43 6
                                    

"Pagi sekali Ndu," ucap Wijaya kepada Pandu.

Pukul empat pagi ini Pandu sudah berada di rumah Ealin. Mereka akan berkumpul ke SMA pukul setengah lima sebelum pergi menuju Bandung. Sebab acara perlombaan tari akan di mulai kira-kira pukul sepuluh pagi.

"Iya Om kita harus berkumpul jam setengah lima,"

"Ya," Wijaya manggut-manggut mengerti. "Kamu bawa motor?"

"Iya Om,"

"Mending nanti saya antar saja?"

"Nggak usah, nanti merepotkan,"

"Ya enggak lah anak Om juga yang diantar,"

"Terus motor saya tinggal sini?"

"Tentu, besok kalau pulang dari Bandung, bisa minta jemput Risti, terus kamu kesini dulu ambil motornya,"

"Ya Om,"

Pandu menyetujui instruksi Papa Ealin, Wijaya. Menurutnya akan lebih aman juga jika di antar olehnya, alangkah baiknya jika menurut dengan orang tua.

"Jadi setuju?" tanya Wijaya.

"Setuju apa?" Ealin menuruni anak tangga bersama Risti di sampingnya. Ealin penasaran saja apa yang sedang di bahas oleh papa dan pacar impiannya. Duh lebay amat Thor! Biar! Kan sepenuhnya Ealin hanya bisa memiliki Pandu hanya dalam impian yang semakin hari makin berbunga menjadi bunga tidur setiap malamnya.

"Jodohin kamu sama Pandu," tutur Wijaya.

Ealin membulatkan mata mendengar penuturan aneh Papanya.

"Duh cie," Risti menyenggol-nyenggol lengan Ealin untuk mengejeknya.

"Ya enggak lah masa masih kecil papa jodoh-jodohin," ralat Wijaya.

Pandu tersenyum mendengar ucapan Wijaya. "Om Ealin udah melayang ke langit loh, tahu-tahu jatuh,"

"Heh gue nggak nge fly ya! Toh apa buktinya?!"

"Tuh atap rumah bolong," tunjuk Pandu ke atap menggunakan jemarinya.

Ealin mengikuti arah gerakan jemari Pandu yang mengarah ke atas ambang udara. "Ada-ada aja! Mana bolong?"

"Ya nggak kelihatan lah, kan lo terbang pakek perasaan bukan pakek sayap jadi bolongnya juga transparan!"

"Iyain,"

Wijaya hanya tersenyum kecil melihat anaknya bertingkah seperti ini. Dalam hati ia bersyukur bisa membesarkan kedua anaknya sendirian hingga sebesar ini dan tumbuh menjadi gadis-gadis jelita.

"Heh kalian  buruan berangkat!" seru Risti.

"Ayo papa antar,"

"Kok sama papa?"

"Iya biar lebih aman di jalan,"

"Oh,"

*****

Setelah anggota yang akan berangkat menuju Bandung lengkap. Baru perjalanan di mulai. Untung saja tadi tidak ada yang molor mengaret, jadi meraka bisa berangkat tepat waktu.

Di dalam mobil beranggota enam orang. Ada Pak Hery selaku pengampu jurnalistik, Bu Rence guru tari Ealin, ada Abid yang duduk bersama Pandu di belakang, dan juga Ealin yang duduk dengan Helma di tengah.

"Lo bakat banget Lin mewakili provinsi DKI Jakarta!" seru Helma dengan mata berbinar.

"Alhamdulilah. Lo juga berbakat di bidang jurnalistik," puji Ealin balik.

ANDESTIN [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang