9. Air mata jatuh ke perut

978 77 10
                                    

Ealin melemparkan pandangan ke penjuru ruangan mencari sosok Pandu dari sudut ke sudut. Tapi apa? Bola mata Ealin tidak menemukan keberadaan cowok itu. Baiklah, mungkin Pandu belum datang karena Ealin terlalu awal dan bersemangat menemui Pandu.

Dari ambang pintu Ealin segera masuk ke dalam perpustakaan. Setelah mendapat tempat yang menurutnya nyaman, Ealin segera meletakkan buku-bukunya diatas meja. Tangan mungilnya menarik kursi yang berada di dalam meja. Dan segera ia memosisikan duduk di bangku yang empuk itu.

Ealin merogoh saku rok mengeluarkan benda pipih. Jemari Ealin lincah bermain di atas layar handphone itu.

"Eh Ealin," sapa seorang gadis menghampiri Ealin.

Ealin pun mendongak ke atas menatap cewek itu dengan datar. "Apa?" tanya Ealin.

"Ngapain ke perpustakaan? Nggak biasanya lo di sini,"

Ealin memutarkan bola matanya. "Cari suasana baru buat tidur," jawab Ealin tajam.

Gadis itu malah tersenyum lalu meninggal Ealin tanpa sepatah kata pun.

Karena merasa bosan, Ealin meraih aerphon dari saku baju seragam. Dengan gesit Ealin memasangkan di lubang handphone, dan menyumbatkan aerphon itu ke dalam lubang telinganya. Sedangkan ibu jarinya bermain di atas layar dan mengeklik film anime, salah satu film yang berbau Jepang.

Selang beberapa menit, Ealin melirik arloji yang melingkar di lengan kirinya. Hampir tiga puluh menit Ealin menikmati film anime, tetapi seseorang yang ia tunggu belum juga menampakkan batang hidung. "Lama sih?" gumam Ealin.

Ealin pun memutuskan untuk kembali ke kelas, dari pada menunggu tanpa kepastian. Toh tidak ada tanda-tanda kedatangan Pandu.

Hendak ingin keluar, hampir saja Ealin menubruk seseorang yang baru datang. Ealin pun sempat kaget, namun dengan cepat ia menyeimbangkan tubuh agar tidak terhuyung jatuh.

"Sorry gue lama," kalimat pertama yang diucapkan Pandu.

"ya," Ealin berusaha menahan kegugupan yang melanda dirinya.

"Mau gimana ni?" tanya Pandu.

Ealin mengangkat bahu sebagai jawaban tidak tahu.

"Kita ke cafe gimana?" tanya Pandu meminta pendapat.

Ealin mengerutkan kening bingung. "Sekarang?"

"Nanti maksudnya,"

"Oh," jawab Ealin merasa malu, karena ia bertanya seolah seperti orang bodoh. Toh ia tahu jika sehabis ini bel masuk berbunyi. "Cafe mana?" tanya Ealin dengan tampang andalannya, datar mirip dinding.

"Nanti gampang," jawab Pandu. "Balik kelas gih udah mau masuk," ajak Pandu.

Ealin hanya mengangguk.

Ealin dan Pandu berjalan beriringan menuju kelas. Banyak tatapan yang melihat kearah mereka, membuat Ealin sedikit risih. "Segitu ngelihatnya," gumam Ealin pelan.

"Abaikan aja, biasa pada iri," jawab Pandu.

Ealin sedikit terperanjat mendengar jawab Pandu. Ealin rasa ucapannya di detik lalu tidak keras, ternyata Pandu masih bisa mendengarnya. "Iri kenapa?" Ealin berlagak nggak tahu.

"Jalan sama cowok ganteng," jawab Pandu dengan percaya diri.

Ealin hanya tersenyum simpul mendengarnya. Dalam hati Eali sudah kegirangan serasa ingin terbang.

"Gue ke kelas dulu," ucap Pandu setelah sampai di depan kelas.

"Ya," Ealin pun segera melangkahkan kaki menuju kelas, sebelum guru biologi datang terlebih dahulu.

ANDESTIN [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang