43. Rahasia Dalam Genggaman

578 44 23
                                    

Matahari enggan untuk menampakkan diri, yang ada malah awan-awan gendut hitam menyelimuti hamparan langit di atas sana. Butir-butiran air pun berderai turun dari langit, membuat kawasan kota ini bersimbah air hujan.

Pagi yang seharusnya cerah menjadi penyambut hari pertama mereka di Kota istimewa malah terkesan tidak menyenangkan, sayang sekali semesta sedang  tidak berpihak kepada mereka hari ini.

Ealin mendengus sebal ketika rintihan hujan semakin deras, gesekan batang bambu pun mulai terdengar ketika angin mulai menerpa rimbunan bambu  yang tertanam di halaman samping rumah. Pandu dan Ealin pun akhirnya beranjak dari balkon kamar ketika angin terhembus kencang.

"Mode mager kalau begini," cerca Ealin ketika tubuhnya berhasil mendarat di atas kursi mini berbulu halus.

"Emang," jawab Pandu yang kini ikutan duduk di kursi lain. "Nanti nunggu reda aja," saran Pandu.

Setelah kejadian kemarin sore, Pandu selalu bersikap biasa saja terhadap Ealin. Meskipun sampai sekarang belum bisa menerima kenyataan, Pandu sebisa mungkin mengontrol diri agar tidak bertanya detail mengenai Moya dan alasan Ealin berbohong, karena yang ada akan menambah masalah baru menurut Pandu. Jadi Pandu hanya diam  dan menunggu, barang kali Ealin menceritakan dengan keinginan hatinya sendiri tanpa paksaan dari Pandu.

"Iya?"

Pandu hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Tapi gue pengen sekarang," ucap Ealin sok histeris. "Udah kangen Eyang banget nih," ucapnya lagi tak kalah histeris.

Memang rencana mereka pagi ini akan berkunjung ke rumah Eyang. Karena hujan lebat seperti ini, Pandu mengundur  waktunya. Itu akan lebih baik juga menurutnya.

"Mau hujan-hujanan?"

"Ya nggak lah,"

"Yaudah tunggu aja," tutur Pandu. "Lo aja belum mandi,"

"Gue mah mandi kilat," balas Ealin dengan mencebik. "Nggak semedi, nggak perlu ritual, konser tunggal pun gue juga nggak," jelas Ealin.

"Tapi boleh juga tuh buat coba Lin konser tunggalnya," saran Pandu.

Mengapa Ealin terpikir Alvano si kakak kelas itu? Bukankah tadi malam dia dan grub bandnya manggung, Oh pantas saja dia tidak menggangu dirinya lewat pesan-pesan singkat yang dia kirimkan. Namun mengapa sampai pagi ini dia belum juga mengirimkan satu pesan pun? Ealin bertanya pada dirinya sendiri.

Dengan kasar Ealin menampik bayangan tentang Alvano. Masa bodoh juga jika dia tidak mengabarinya, bukankah yang diharapkan Ealin seperti ini?

"Nggak mau, emang gue si ka-" ucap Ealin terpotong, ia menggerutu dalam hati pada dirinya sendiri mengapa harus berucap seperti itu. Dasar gara-gara Alvano! Desis Ealin dalam hati. "Nggak apa-apa," sambungnya.

"Nggak jelas amat,"

Ealin tidak menggubrisnya, alih-alih malah terpaku pada sederet laci di bawah ranjang tidur. Ia pun beranjak dari bulu-bulu halus yang ia duduki, dan segera menuruti kata hati untuk membongkar isi laci itu.

"Cari apa?"

"Nggak tahu, lihat-lihat aja," jawab Ealin sembari membuka laci itu, tanganya pun mulai meraba-raba dalam laci itu seakan mencari sesuatu. "Nah!" seru Ealin dengan mata berbinar ketika berhasil mendapatkan album.

"Album?" tanya Pandu.

Ealin menggeleng kecil. "Foto-foto," jawab Ealin yang kini sudah duduk di atas karpet.

"Sama aja!" serunya, kini Pandu menghampiri Ealin dan ikutan duduk di karpet itu tepat di samping Ealin.

Ealin hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Pandu. Ia pun mulai membuka sampul album, senyumnya pun seketika mengembang disambut foto gadis cantik yang begitu imut.

ANDESTIN [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang