1

2.5K 82 6
                                    

"Berharap yang paling menyakitkan adalah berharap adanya orang tua di sisi kita."

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




.

Suara langkah kaki satu demi satu terdengar sedang menuruni tangga menuju meja makan. Mata hazelnya kembali menangkap tidak ada siapa-siapa di meja tersebut, kosong. Ibarat gelas yang tidak di isi air. Acha itu tersenyum kecil, apa yang diharapkannya tidak ada.

Harapannya sirna begitu saja, Orang tuanya tidak ada di sana. Tidak ada kecupan manja di pipi, selamat pagi dan juga lainnya, hanya ada kursi-kursi saja tanpa penghuni.

Acha menghela napas gusar sambil membalikkan tubuhnya ke arah Mbok Imah. "Bi, Mamah belum pulang?"

"Belum, Non." Mbok Imah meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja, Acha menghela napas, dia paham alasannya pasti kerja dan kerja tidak ada waktu untuk dirinya dari dulu.

Perceraian orang tuanya mengubah semuanya, mimpi yang diharapkan waktu kecil kini sirna di telan kenyataan pahit. Keluarganya telah berbeda jauh berbeda, semua sudah berubah dan semua sudah berganti dengan istri dan anak barunya.

"Bi, Acha berangkat."

Acha mengecup pundak tangan wanita parubaya di depannya. Sudah rutinisnya seperti itu, berangkat pagi, pulang dini hari tidak ada yang mengkhwatirkannya hanya ada Mbok Imah yang setia menunggunya di rumah tengah.

Gadis itu berharap, wanita itu hidup selama dirinya hidup. Karena kalau tidak ada dia, Acha akan menjadi seperti apa?

***

Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, Acha menghela napas sejenak. Tangannya mengambil liptint di tasnya dan memakainya. Setelah selesai dia membuka pintu mobil, sembari tangannya membawa tas dan gadis itu taruh di atas pundaknya.

Dengan langkah kecil gadis itu menyelusuri koridor menuju kelas 11 MIPA 2. Tubuhnya oleng seketika saat tubuhnya tidak sengaja bertabrakan dengan tubuh seseorang yang ada di depannya. Acha meringis, tangannya menyentuh pundak kanannya. Pasti memar, pikirnya.

"Aishh...."

Dengan cepat dia menoleh, melihat siapa yang berani menabraknya tadi, rupanya laki-laki berkaca mata hitam itu yang menabraknya.

"Jalan pake mata." Laki-laki itu mendengus.

Mata gadis itu melotot. "Hey, lo mata empat jangan main nuduh orang. Udah punya empat tapi masih nabrak."

Tangan laki-laki itu mengepal kuat. "Apa? mau jambak gue?"

Laki-laki bernama Febrian itu mendengus, dia maju selangkah membisikkan sesuatu di telinganya. "Engga ada waktu urusin, gadis lidi kayak lo!"

Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang