Part 1

24.4K 1K 22
                                    

"Kalau kamu mencintai seseorang, berikan aja dia dua belas puisi cinta ... itu bisa meluluhkan hatinya."

Intan menatap wanita dewasa yang terbaring di kasur rumah sakit itu, meski dibalut banyak peralatan penunjang kehidupan ia tersenyum hangat.

"Bisa begitu, Bu?"

Sosok yang panggil ibu mengangguk. "Cara Ibu ngegaet ayah kamu juga gitu, Sayang. Dia bahkan enggak peduli soal fisik Ibu sama sekali ...."

Senyum terlukis di bibir remaja perempuan itu. "Makasih, Bu."

"Dua belas puisi cinta bukan puisi sembarangan, Sayang. Kamu perlu ... mengikuti aturan." Dan Intan, mendengarkan dengan saksama ungkapan demi ungkapan ibunya tersebut.

Selesai hal itu ... malam harinya kala seluruh lampu rumah sakit dimatikan, ruangan gelap gulita, Intan yang berbaring di samping kasur ibunya dengan selimut tipis tiarap, bersama penerangan minim juga pena dan kertas mulai menulis puisi cinta pertamanya.

Huruf 'A' mengawali kata itu, besar dan dibuatnya bergaya.

Lama, lama, lama mencorat-coret ... akhirnya ia menyelesaikan puisi pertamanya.

Senin pagi yang cerah, di mana suasana sekolah menengah atas itu dalam keadaan sepi-sepinya, Intan berjalan di koridor dengan bahagia. Ia juga mengingat ... tentang hal itu ....

"Kalian bisa pindah?" tanya sebuah suara, membuat Intan dan teman-temannya yang tengah makan dengan tenang di kantin mendongak. Ditemukannya beberapa pemudi dengan wajah cantik-cantik menatap nyalang ke arah mereka dan yang paling depan, lah, yang bersuara demikian. "Gue sama temen-temen gue mau makan di sini." Mata si gadis melirik, ke arah perkumpulan pemuda yang hanya satu meja dari tempat itu.

Intan dan teman-temannya terdiam, namun Intan menemukan emblem yang terpasang di lengan atas perempuan di hadapannya itu. Sama seperti miliknya. Mereka seangkatan, kelas satu.

"Tapi kami duluan di sini, kenapa kamu enggak nyari tempat duduk yang lain?" tanya Intan memberanikan diri, teman-temannya tersenyum akan keberanian gadis itu.

"Heh, apa lo bilang, Babi?!" Tangan si perempuan menghempas ke meja, beberapa pasang mata menoleh termasuk para pemuda di meja yang sempat ia lirik. "Cepet pindah, gak?! Lo mau—"

"Whoa, whoa, whoa! Kenapa, nih?" Salah seorang pemuda di meja itu akhirnya berdiri, dengan bullhorn di tangan ia menghampiri ke meja mereka. "Gue mau makan dengan tenang! Meja kantin banyak, noh! Lo ngapain mau nyolong punya orang?!" tanyanya kesal.

"Eh, mm ... Kak ...." Si gadis itu tampak ciut, sementara Intan kini menatap emblem si pemuda. Kakak kelas tiga. Rambut cokelat, mata cokelat, proposi tubuh sempurna dengan bibir merah muda, hidung mancung, juga alis tebal ....

Mata Intan berkaca-kaca melihat ketampanannya, terlebih kebaikhatiannya.

Pemuda itu tersenyum. "Adik kelas udah sok semena-mena di sini, ikut gue kalau mau duduk!" Ia menarik gadis itu pergi ....

Intan, untuk kali pertamanya, terkesima akan pesona dan sikap kepahlawanan kakak kelas itu, hingga saat ini.

Ia sempat sedih mengetahui kekurangannya, atau lebih tepatnya kelebihan fisiknya, namun ... mendengar ungkapan sang ibu setelah ia curhat tentang perasaannya ....

Ia rasa tak ada salahnya mencoba ... menurutnya pemuda itu sangatlah baik. Karena setelah kejadian itu, diam-diam ia memperhatikannya walau jarang karena mereka begitu sulit dipertemukan.

Namanya Brendon Deanson, ia Ketua OSIS, begitu banyak goodlist sampai-sampai Intan tak yakin bisa menyebutkannya ... berwibawa saat upacara, baik dengan banyak anak, pembela kebenaran, pahlawan semua orang ....

Kini, ia sampai di tempat loker, langsung ia hampiri loker yang ia ingat milik Brendon, dan ia masukkan kertas itu ke celah yang ada di bawahnya.

Ia lalu duduk di bangku yang tak jauh dari sana, memastikan si penerima menerima puisinya ....

Cukup lama menunggu, kini sekolah semakin penuh dan penuh, bahkan kursi yang Intan duduki juga penuh sepasang perempuan menegur, "Eh, lo udah lama duduk di sini tadi, makan tempat dua orang! Berdiri, dong, kami berdua juga pengen duduk!"

Intan tak melawan, ia membiarkan tempat duduknya yang memang bisa diduduki dua orang mereka ambil. Ia kini berdiri di samping mereka, setia menunggu Brendon ... pahlawannya.

Dan, itu mereka!

Brendon berpisah dengan teman-temannya yang menuju loker masing-masing, dan tepat sasaran ... itu memang loker milik si pemuda. Dan kala ia membukanya, selembar kertas berwarna merah muda jatuh ke lantai.

"Hah ...."

Brendon menundukkan kepala, melihat kertas itu ia lalu memungutnya. Setelah mengambil beberapa buku dalam loker, ia tutup lokernya, kemudian menatap sekitaran dengan kertas tersebut ada di tangannya.

Spontan, Intan bersembunyi di balik tembok.

Brendon menatap kertas itu, ada sebuah tulisan di sana ia lalu membacanya.

"Ada sebuah cerita lucu ....

Kala mataku bertemu kamu ....

Kupikir itu hanyalah hal semu ....

Namun nyatanya tak sekhayal itu ....

Apakah ini hal tabu, Pangeranku?"

Brendon mengerutkan kening. Kemudian menyengir kecil bertepatan Intan mengintipnya dan melihat laki-laki itu melipat kertas itu sebelum akhirnya memasukkannya ke tas di punggungnya. Intan tersenyum ....

Brendon suka!

Di hari kedua, ia melakukan hal yang sama, namun bedanya huruf K yang ia besarkan di awal dengan bergaya.

Brendon mendapatkan surat keduanya, dan membaca isinya lagi.

"Kamu mungkin bertanya-tanya siapa ....

Tetapi belum saatnya ....

Aku bukan penguntit menyeramkan, hanya penggemar rahasia ....

Mengagumi penampilan serba cokelat pangeran dalam diam saja ....

Bolehkah aku tetap meneruskan berkarya?"

"Hm ... lagi." Brendon menatap sekitaran, Intan mengintipnya lagi, dan pemuda itu tersenyum sambil menatap kertas di hadapannya lagi. Manggut-manggut. "Silakan."

Intan semakin bergembira.

Hari ketiga ....

"Untuk Pangeran yang bergelar pahlawan ....

Apa kabar? Semoga selalu diberkati Tuhan ....

Hari ini kudengar ada lomba yang akan kaujalankan ....

Selamat dan semoga berakhir kemenangan ....

Aku doakan kamu, tentu saja diam-diam."

"Thanks," gumam Brendon, manggut-manggut. Semakin hari Intan semakin bersemangat ....

Hari keempat ....

"Catatan untuk Pangeran pasti lelah kemarin berperang ....

Selamat atas kemenangan!

Aku tau masih banyak rintangan ....

Tetapi aku yakin Pangeran bisa menuntaskan ....

Tetap semangat!"

"Oke, makasih banyak, lagi."

Hari kelima ....

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

JODOH, TUH, BERAT! [Brendon Series - D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang